Sabtu, 10 September 2011

Asal Mula Bedug

Dugg.. Dug Dug Dug.. “Alhamdulillah sudah beduugg..saatnya berbuka puasa!!”
Ya. Bedug menjadi istilah yang lazim digunakan masyarakat Indonesia untuk menandakan waktu maghrib tiba, tanda suka cita bagi yang berpuasa. Mengapa bedug? Mengapa tidak drum atau gendang? Mungkinkah karena bedug merupakan alat yang biasa ditabuh pertanda azan berkumandang? Ah daripada menduga-duga, mari kita lihat sejarahnya.
Bedug, siapa yang tidak mengenal benda besar yang berbunyi sangat keras bila ditabuh ini. Itulah ia, alat musik tabuh seperti gendang. Bedug merupakan instrumen musik tradisional yang telah digunakan sejak ribuan tahun lalu, yang memiliki fungsi sebagai alat komunikasi tradisional, baik dalam kegiatan ritual keagamaan maupun politik. Bedug terbuat dari sepotong batang kayu besar atau pohon enau sepanjang kira-kira satu meter atau lebih. Bagian tengah batang dilubangi sehingga berbentuk tabung besar. Ujung batang yang berukuran lebih besar ditutup dengan kulit binatang yang berfungsi sebagai membran atau selaput gendang. Bila ditabuh, bedug menimbulkan suara berat, bernada khas, rendah, tetapi dapat terdengar sampai jarak yang cukup jauh.
Beberapa ahli sejarah mengatakan bahwa bedug berasal dari India dan Cina. Berdasarkan legenda Cheng Ho dari Cina, ketika Laksamana Cheng Ho datang ke Semarang, mereka disambut baik oleh Raja Jawa pada masa itu. Kemudian ketika Cheng Ho hendak pergi dan bermaksud memberikan hadiah, raja dari Semarang mengatakan bahwa dirinya hanya ingin mendengarkan suara bedug dari masjid. Sejak itulah, bedug kemudian menjadi bagian dari masjid, seperti di negara Cina, Korea dan Jepang, yang memposisikan bedug di kuil-kuil sebagai alat komunikasi ritual keagamaan.
Kata Bedug juga sudah disinggung dalam kidung Malat, sebuah karya sastra berbentuk kidung. Susastra kidung berisi cerita-cerita panji. Umunya ditulis pada zaman Mahapahit, dari kurun waktu abad ke 14-16 Masehi. Dalam Kidung Malat dijelaskan, instrumen musik membrafaon bedug dibedakan antara bedug besar yang diberi nama teg-teg dengan bedug ukuran biasa. Bedug pada masa itu berfungsi sebagai alat komunikasi dan penanda waktu seperti perang, bencana alam, atau hal mendesak lainnya. Dibunyikan pula untuk menandai tibanya waktu. Maka ada istilah dalam bahasa Jawa: wis wanci keteg. Artinya ”sudah waktu siang” yang diambil dari waktu saat teg teg dibunyikan.
Cornelis De Houtman dalam catatan perjalanannya D’eerste Boek menjadi saksi keberadaan bedug yang sudah meluas pada abad ke-16. Ketika komandan ekspedisi Belanda itu tiba di Banten, ia menggambarkan di setiap perempatan jalan terdapat genderang yang digantung dan dibunyikan memakai tongkat pemukul yang ditempatkan di sebelahnya. Fungsinya sebagai tanda bahaya dan penanda waktu. Kesaksian ini jelas menunjukkan adanya bedug.
Kendati demikian, pengaruh Cina pun tidak dinafikan. Jika kita lihat dari sisi konstruksi, teknik pemasangan tali/pasak untuk merekatkan selaput gendang bedug Jawa, mirip pada cara yang digunakan pada bedug di Asia Timur seperti Jepang, Cina, atau Korea. Bukti lain terlihat pada penampilan arca-arca yang ditemukan di situs Trowulan. Arca-arca prajurit berwajah Mongoloid itu tampak menabuh tabang-tabang, sejenis genderang budaya timur tengah. Kemungkinan itulah yang menyebabkan instrumen musik ini juga dimainkan orang-orang Cina Muslim di ibukota Majapahit. Menariknya, tabang-tabang sebenarnya merupakan instrumen musik yang sudah ada sejak masa Hindu-Budha. Di dalamnya ada pengaruh kuat dari India dan budaya Semit beragama Islam. Namun diperkenalkan dan dimainkan oleh masyarakat Cina Muslim.
Jadi, bedug bisa dikatakan contoh perwujudan akulturasi budaya etnik Nusantara dengan budaya luar seperti India, Cina, dan Timur Tengah. Di Indonesia kini, sebuah bedug biasa dibunyikan untuk pemberitahuan waktu salat atau sembahyang. Saat Orde baru berkuasa, bedug pernah dikeluarkan dari surau dan mesjid karena mengandung unsur-unsur non-Islam. Bedug kian digantikan oleh pengeras suara. Namun hal itulah yang menjadikan bedug menjadi unik dan kembali menjadi legenda yang lazim di kalangan masyarakat. Beberapa tetuah masyarakat biasa menyebut azan dengan istilah bedug, dan istilah ini terus menerus didengar sampai telinga kita. Asalkan penggunaannya yang tidak bertentangan dengan syariat islam atau sengaja dimaksudkan untuk ritual atau pemujaan tertentu, penggunaan bedug sebelum azan masih diperbolehkan.
Nah, kita telah mengetahui sejarah asal muasal bedug yang kini dikaitkan atau dapat berarti waktu azan yang sudah tiba, terlebih azan maghrib yang dinanti bagi mereka yang berpuasa. Semoga tidak mengurangi keunikan budaya muslim di Indonesia dan semoga menjadi penyemangat yang khas tersendiri bagi pemuda masjid serta masyarakat sekitarnya dalam menyemarakkan Ramadan yang suci ini. Wallahua’alam bis showab. (AES)

Tidak ada komentar: