Entah telah berapa banyak uraian mencengangkan mengenai sosok R.A. Katini yang dengan mudah diakses oleh para pencari informasi. Yang paling banyak dicari yakni isi surat-surat beliau yang dihimpun dan dibukukan oleh sahabat penanya di Belanda yang berjudul ‘Door Duisternis Toot Licht’ dalam bahasa Indonesi berarti ‘Dari kegelapan menuju cahaya’ dan oleh Armijn Pane ungkapan ini diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Beberapa orang atau oknum mengklaim bahwa R.A. Kartini sebenarnya bukan tokoh emansipasi wanita, ia penganut theosofi, ia terpengaruh pemikiran teman surat menyuratnya di Belanda yang notabene adalah penganut yahudi.

Gugatan-gugatan ini muncul akibat surat-surat beliau yang jika diperhatikan memang berbau demikian, diantaranya;
“Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? Al-Quran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan kedalam bahasa apa pun. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca Al-Quran tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibacanya itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang sholeh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah begitu Stella?” [Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899].
“Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlunya dan apa manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al-Quran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya, dan jangan-jangan guru-guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepadaku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa, kitab yang mulia itu terlalu suci sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya. [Surat Kartini kepada E.E. Abendanon, 15 Agustus 1902]
Jika kita hanya berhenti pada fakta ini, tidak heran jika disimpulkan bahwa gugatan tersebut benar adanya. Namun, perlu dicek kembali range waktu surat-surat tersebut dibuat. Ternyata, ada beberapa surat setelah surat-surat di atas yang mengungkap sisi lain sejarah perjalanan hidup Kartini sebelum beliau wafat. Surat-surat iniliah yang akhirnya memberikan informasi kepada kita tentang pemikiran-pemikiran Kartini yang kemudian berubah seiring berjalannya waktu.
“Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?” [Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902]
Lalu mengapa Kartini bisa berubah pikiran sedrastis itu? Ternyata, suatu ketika beliau hadir dalam pengajian bulanan keluarga yang diadakan pamannya. Saat itu, Kyai Sholeh Darat diundang membawakan kajian tafsir Al-Fatihah. Bukan main senangnya Kartini karena sejak sekian lama ia mempertanyakan apa arti dari huruf keriting arab yang harus dibaca dan dihafalkan namun tak perlu dipahami itu, baru kala itu ia merasakan betapa indahnya arti ayat-ayat Allah dalam surat Al-Fatihah yang dikaji oleh Kyai yang mengerti bahasa arab. Sebelumnya, beliau mengalami pengalaman buruk karena pernah menanyakan arti sebuah ayat kepada guru mengajinya. Ia dimarahi dan dilarang menanyakan hal itu lagi. Disinyalir karena alasan inilah Kartini sempat menulis surat yang berisi meragukan kitab suci Al-Qur’an sebelumnya.
Pada masa itu pelarangan pemerintah Belanda terhadap penerjemahan Al-Quran sangat keras. Namun, karena Kartini sempat membuat tertegun Kyai sholeh Darat akan pertanyaannya mengenai hukum bagi orang yang memiliki ilmu tetapi tidak membagikannya, beliau akhirnya menyusun terjemahan Al-Qur’an sebanyak 13 juz ke bahasa Jawa yang dimengerti Kartini dan menghadiahkannya saat acara pernikahan Kartini. Sayangnya, sebelum melanjutkannya, beliau wafat.
Walau begitu, Kartini merasa sangat bersyukur atas kesempatan untuk dapat memahami makna beberapa dari ayat-ayat Al-Qur’an. Pemahamannya yang mulai mendalam mengubah paradigmanya. Misalnya, yang tadinya kontra poligami karena sangat merugikan kaum wanita menjadi pro. Ia pun sangat terinspirasi oleh ayat yang amat menyentuh nuraninya: Orang-orang beriman dibimbing Allah dari gelap menuju cahaya (Q.S. al-Baqarah: 257). Oleh karena itu, dalam banyak suratnya kepada Abendanon setelah ini, Kartini banyak mengulang kata “Dari gelap menuju cahaya” yang ditulisnya dalam bahasa Belanda: “Door Duisternis Toot Licht”. (Rps)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar