Suatu kesempatan di sebuah surau kecil, kulihat seorang kakek berusia sekitar 60 tahunan menitiskan air mata dalam sujud-sujud panjangnya yang teriring bait-bait do’a. Kusempatkan bertanya kepadanya seusai ia menyelesaikan do’anya, “Apakah yang membuat kakek begitu bersedih hingga bersimbah air mata seperti yang kulihat?” Sang kakek terdiam sejenak, kemudian membuka suara dengan suaranya yang parau dan tertahan menyiratkan penyesalan. “Nak, lebih dari separuh abad usiaku telah berlalu. Dalam masa itu kulalui dengan kesiaan dan dosa. Kuhabiskan masa mudaku dengan bersenang – senang dan bermalas – malasan. Kuabaikan perintahNya dan kutenggelam dalam kubangan kemaksiatan. Hingga ke dasar dan hampir terjatuh aku tak jua mendapati diriku untuk kembali ke jalanNya. Nak, kiranya tenagaku sekuat dulu, aku akan lebih giat beribadah dan menghadiri majelis-majelis ilmu. Sekiranya pikiranku bisa kembali seperti muda dulu, tentu aku ingin mengisinya dengan cahaya-cahaya ilmu. Kini waktu yang tersisa untukku tak banyak dan aku hanya bisa menangis menyesalinya, andai aku bisa muda sepertimu lagi.”
Demikianlah usia yang muda, badan yang masih tegap dan sehat, masa yang cukup dan lapang adalah antara nikmat Allah yang sering terlupakan dalam mensyukurinya. Kesibukan, kesenangan, juga kesempitan yang menghimpit acapkali mendatangkan kata-kata esok, esok dan esok. Hingga esok tak pernah kembali dan berakhir dengan penyesalan.
Ibnul Jauzi pernah berkata, “Jika engkau mendapati jiwa ingin menunda-nunda untuk kembali, dan membayangkan waktu panjang atau pendek, bawalah ia secara paksa untuk mengingat. Ajal tak ada yang bisa memperkirakan.”
Seorang insan bagaimanapun ia pasti akan menghadapi ajalnya. Sedangkan mati tidak bersyarat sakit, tidak juga bersyarat tua, ia hanya bersyaratkan ajal, yaitu sesuatu yang sudah ditentukan Allah sejak azali (sejak waktu penciptaan).
Tak usah bertangguh memohon taubat dari Allah, takut-takut kita tidak sempat menyempurnakannya. Yang sehat tiba-tiba sakit, yang kuat tiba-tiba lumpuh, yang muda tiba-tiba mati. Tak usah menunggu senja lantaran sering disangka panas. Hingga petang, rupanya hujan turun tengah hari. Mengapa nantikan senja baru kan terbersit pulang ke pangkalan? Mengapa menunggu senja? Sedangkan belum tentu senja itu datang bertamu dalam hidup kita. (ita)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar