Sabtu, 04 Mei 2013

Ragu Meminta, Sesat di Hati


Oleh: Lisfatul Fatinah*

Berapa banyak dari kita yang sedang atau pernah doa-doanya belum terkabulkan? Pasti banyak di antara kita yang pernah mengalami hal ini. Lalu, apa yang biasanya kita lakukan ketika doa tidak kunjung terijabahkan?

Sebagian dari kita mungkin sibuk mengingkari kehendak-Nya yang belum kunjung mengabulkan doa. Contohnya bermacam-macam, mulai dari menganggap Allah tidak adil, Allah jahat, dan sebagainya hingga mulai berhenti berdoa dan memasrahkan diri sepenuhnya dalam kegagalan.

Sebagian lainnya mungkin ada yang berpikiran positif dengan menyugesti diri dengan berbagai kemungkinan baik. Misalnya dengan pernyataan-pernyataan, mungkin belum waktunya doa ini terkabulkan, mungkin saya kurang beramal, mungkin saya kurang beribadah, mungkin saya belum cukup baik untuk menerima pengijabahan doa itu, dan kemungkinan baik lainnya.

Di balik dua hal di atas, ada satu hal yang luput dari jangkauan kita. Satu hal ini sejatinya sangan mungkin menjadi jawaban dari pertanyaan di paragraf pertama. Satu hal tersebut adalah keyakinan.

Keyakinan sejatinya menjadi aspek lain dalam segala hal yang memungkinkan usaha kita bisa terwujud ataupun tidak, termasuk usaha dalam berdoa. Sebuah keyakinan dalam berdoa menjadi titik fatal seorang hamba yang meminta kepada Penciptanya. Ketika doa termuajatkan, sisanya adalah kinerja doa yang menjamin apakah doa tersebut lekas tiba di Tangan Allah ataupun tidak.

Analoginya, besar-kecilnya keyakinan seseorang dalam berdoa adalah seperti baik-buruknya kendaraan yang digunakan manusia dalam pergi ke suatu tempat. Jika keyakinan doa yang dimiliki seseorang begitu besar, berarti seseorang ini telah menempatkan doanya pada sebuah pesawat yang akan mengantarkan doanya begitu cepat kepada Allah subhaanahu wa ta'ala.

Sedangkan seseorang yang krisis keyakinan dalam doanya adalah sama seperti menitipkan doanya pada mobil ringkih yang acap kali mogok dalam perjalanannya menuju Allah subhaanahu wa ta'ala. Hasilnya, keraguan doanya malah menyesatkan hatinya sendiri lalu timbullah alasan-alasan dan pembenaran yang direka-reka pada Allah. Akhirnya muncullah kesu’uzanan seorang hamba kepada Penciptanya, seperti beranggapan Allah tidak adil dan ain sebagainya.

Begiitulah perbedaan doa antara seorang hamba yang yakin doanya akan dikabulkan dengan yang tidak. Terlepas dari hal keyakinan, keseimbangan dalam berdoa juga perlu diperhatikan. Misalnya keseimbangan ibadah dan doa yang kita panjatkan. Jangan sampai ibadah kita compang-camping, tetapi doa yang kita rapalkan berlembar-lembar jumlahnya, hamba yang seperti ini biasanya saya menyebutnya sebagai “hamba yang tidak tahu diri”.

Sebutan di atas memang kasar, tetapi setidaknya itu layak untuk seorang hamba yang terlalu banyak meminta hak tanpa menunaikan kewajiban. Akhiran, mari sama-sama memperbaiki ibadah kita sambil terus memohon kepada Allah akan hajat-hajat kita. Tak lupa pula, perkuat keyakinan kita atas doa-soa yang termunajat. Semoga semua doa dan munajat kita terijabah atau diganti dengan yang lebih baik lagi oleh Allah subhaanahu wa ta'ala. Aamiin.

(*)Mahasiswa PLB FIP UNJ 2011

Tidak ada komentar: