Minggu, 22 April 2012

Muslimah, Kita Tidak Perlu Ikut-Ikutan!


Sebelum memaparkan panjang lebar, ada sebuah kisah yang sekiranya patut untuk diketahui seluruh muslimah sebelum akhirnya merasa patut untuk mengikut-ikuti (baca: taklid) pemikiran kaum feminis, yang notabene berasal dari barat*. Kisah ini bisa jadi sudah tidak begitu asing bagi muslimah yang sering mengkaji perihal hak-hak kaum wanita dalam Islam. Di dalam buku Islam wa Hajatul Insaniyah Ilaih, Dr. Muhammad Yusuf Musa menceritakan, “Ketika tinggal di Paris untuk mengambil program S2, saya tinggal pada sebuah keluarga dengan pembantu seorang gadis yang jika dilihat dari segi akhlaknya terlihat bahwa ia merupakan keturunan baik-baik. Setelah menelusuri gadis itu lebih jauh lagi, saya mendapati keterangan bahwa ia adalah keponakan seorang pengusaha kaya raya. Hal yang membuat saya heran, mengapa seorang paman yang pengusaha kaya membiarkan keponakannya menjadi pembantu rumah tangga? Ketika saya tanyakan langsung kepada  si gadis, ia berkata, ‘Undang-Undang apa yang dapat saya pakai untuk menyelesaikan masalah itu? Apakah islam memiliki peraturan seperti itu?’ Saya pun akhirnya menjelaskan bahwa di dalam islam si gadis memiliki hak untuk menuntut pamannya dan memaksa pamannya untuk memberinya nafkah. Gadis itu kemudian berkata lagi, ‘Andai kami memiliki peraturan seperti Islam, tidak akan ditemukan antrean panjang gadis-gadis yang bekerja di pabrik atau toko-toko sejak pagi buta. Mereka melakukan itu karena tidak ada yang menanggung nafkahnya’.“

Dr. Yusuf Al-Qaradhawi berkomentar dalam tulisannya mengenai kisah ini. Beliau menyampaikan bahwa melihat kenyataan seperti itu, bagaimana mungkin kita meniru nilai, aturan, serta perbuatan mereka atau kita mengatakan bahwa wanita harus bekerja dan sejajar dengan pria? Wanita yang bekerja pun tidak salah jika memang dia sangat membutuhkan pekerjaan atau masyarakat islam sangat membutuhkan peranannya, semisal menjadi guru, dokter, perawat atau bidan serta peran di bidang lainnya. Artinya, pekerjaan wanita tersebut harus benar-benar karena kebutuhan dan tidak menyimpang dari fitrah serta kodrat kewanitaannya. Muslimah seyogianya memiliki kepercayaan diri dan menyadari perbedaan latar belakangnya dengan wanita-wanita barat. Pada akhirnya, muslimah mampu melepaskan diri dari taklid dan keterikatan atau ketertarikan terhadap pemikiran wanita barat*.

Sebagian muslimah tidak menyadari bahwa hak hidupnya telah dijamin dalam syariat rahmatan lil alamin, Al-Islam. Salah satu pihak yang begitu patut bersyukur atas turunnya agama yang dibawa oleh Rasulullah SAW ini adalah wanita. Betapa tidak, dahulu di zaman jahiliyah wanita juga anak-anak perempuan seperti tidak punya nilai. Ketika islam hadir, sinar-sinar harapan akan kehidupan yang terjamin menghiasi wajah-wajah para wanita. Di dalam islam, wanita begitu utama dan mulia kedudukannya. Hak dinafkahi telah diatur sedemikian rupa sehingga wanita berada dibawah tanggung jawab laki-laki baik itu ayahnya, saudaranya, anaknya, atau suaminya. Perlu digarisbawahi, di bawah tanggung jawab laki-laki. Tidak seperti yang lebih sering diungkit-ungkit bahwa dalam islam wanita berada di bawah kekuasaan laki-laki. Adapun wanita tetap memiliki kewajiban-kewajiban untuk diselaraskan dengan hak yang diperolehnya. Kembali teringat bab ‘Hak dan Kewajiban’ pada buku-buku PPKn kita semasa bangku sekolah dulu.

Kembali lagi kepada topik awal, sejak dulu wanita senantiasa berusaha untuk keluar dari kelemahan, kemunduran, serta dekadensi moral. Sunnatullahnya, wanita pun dikaruniai kecerdasan, rasa ingin tahu, dan hal-hal yang memang lumrah ada sebagaimana dimiliki pula oleh kaum Adam. Sejarah islam banyak mencatat bagaimana kiprah muslimah terutama Ummul Mukminin dalam menyampaikan fatwa dan pelajaran. Imam As-Syafi’i bahkan pernah hadir dalam halaqah Sayyidah Sakinah binti Al-Husein. Hal ini memberi kita gambaran bagaimana peran wanita pada zaman Rasulullah dan setelahnya (pada masa-masa kejayaan dan peradaban islam). Ada pula muslimah yang dalam shirah dikisahkan ikut berperang memegang pedang dan menunggang kuda.
Mencoba menengok sosok yang begitu dekat dengan kita, Ibu kita Kartini. Hampir setiap memasuki bulan April di setiap perputaran tahun, Ibu kita ini ramai disebut-sebut namanya. Pada awal perkenalannya dengan islam, tidak mengherankan jika sang Ibu, sosok wanita cerdas dan kritis, kesal ketika tidak mengerti maksud dari ayat-ayat yang wajib ia lantunkan setiap hari oleh guru mengaji. Kekesalan itu ia sampaikan kepada teman Belandanya melalui surat. Sayangnya, surat-surat kartini kepada temannya itu digunakan untuk membuat sebuah bingkai paradigma bahwa Kartini adalah pejuang feminisme lokal (baca:Indonesia) untuk meyakinkan masyarakat pribumi. Surat-surat kartini diterbitkan oleh mereka beberapa tahun setelah Kartini meninggal. Padahal menurut rentetan sejarah, Ibu kita ini menjadi berubah fikrahnya(baca: pemikiran) setelah bertemu dengan Kiayi yang setelah ditantang oleh Kartini, akhirnya bersedia menerjemahkan Al-Quran**. Sayangnya, Kartini harus puas dengan hanya tiga belas  juz terjemahan Al-Quran dalam bahasa Jawa karena sang Kiayi wafat sebelum menyelesaikan janjinya.

Tidak ada larangan bagi muslimah untuk berkarya sejauh tidak menyalahi kodrat atau fitrah kewanitaannya. Mengenai kodrat wanita, meskipun derajat serta kedudukan wanita dan pria di mata Allah SWT sama, bukan berarti keduanya sama dalam hal penciptaan. Mari tengok mushaf kita, Q.S Ali-Imran:195. Di situ dikatakan ”....sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain...”. Firman Allah SWT ini menyiratkan bahwa laki-laki dan perempuan satu sama lain saling membutuhkan. Hal-hal yang tidak dapat disempurnakan oleh laki-laki akan disempurnakan oleh perempuan, berlaku pula sebaliknya.
Alih-alih mengikuti budaya barat khususnya mengenai wanita, ada baiknya kita para muslimah mencari tahu hal apa yang melatarbelakangi gerakan-gerakan emansipasi yang begitu berkobar meski saat ini wanita sungguh tidak lagi dibatasi hak-haknya. Sebab tulisan ini tidak cukup mumpuni untuk memberikan pemahaman utuh kepada muslimah termasuk penulis. Selain itu, perlu juga para muslimah giat mengkaji Hak serta Kewajibannya sebagai anak atau mungkin istri serta peranannya dalam masyarakat. Islam telah mengatur itu semua dengan sebaik-baiknya. Mari kembali mentadabburi Q.S Al-Baqarah: 138, “Sibghah Allah. Dan siapakah yang lebih baik sibghahnya daripada Allah? Dan hanya kepada-Nya lah kami menyembah”.

Terakhir sebagai penutup, dalam tulisan DR. Yusuf Al-Qaradhawi tentang muslimah, ada sebuah pesan yang dapat kita jadikan dasar untuk menyaring berbagai pemikiran yang bepotensi mempengaruhi cara pandang kita terhadap diri kita (muslimah) sendiri. Pesan itu yakni: Sekali lagi perlu kita tegaskan, jika dalam budaya barat terdapat kebaikan, sesungguhnya semua telah didahului Islam dan kalau pun ada keburukan-keburukan, Islam telah lebih dulu mengajarkan kebenaran. Bagaimana mungkin kita masih menuntut sajian lain dari pihak yang tengah kekurangan? Sesungguhnya Allah SWT telah membuat kita kaya dengan islam. Wallahu’alam.(rp)

Keterangan:
*tanpa maksud men-generalisasi
**pada masa itu Al-Qur’an dilarang keras untuk diterjemahkan ke dalam bahasa pribumi oleh pemerintah Belanda masa penjajahan

Tidak ada komentar: