Sebelum
memaparkan panjang lebar, ada sebuah kisah yang sekiranya patut untuk diketahui
seluruh muslimah sebelum akhirnya merasa patut untuk mengikut-ikuti (baca: taklid) pemikiran kaum feminis, yang
notabene berasal dari barat*. Kisah ini bisa jadi sudah tidak begitu asing bagi
muslimah yang sering mengkaji perihal hak-hak kaum wanita dalam Islam. Di dalam
buku Islam wa Hajatul Insaniyah Ilaih,
Dr. Muhammad Yusuf Musa menceritakan, “Ketika tinggal di Paris untuk mengambil
program S2, saya tinggal pada sebuah keluarga dengan pembantu seorang gadis
yang jika dilihat dari segi akhlaknya terlihat bahwa ia merupakan keturunan
baik-baik. Setelah menelusuri gadis itu lebih jauh lagi, saya mendapati
keterangan bahwa ia adalah keponakan seorang pengusaha kaya raya. Hal yang
membuat saya heran, mengapa seorang paman yang pengusaha kaya membiarkan
keponakannya menjadi pembantu rumah tangga? Ketika saya tanyakan langsung
kepada si gadis, ia berkata,
‘Undang-Undang apa yang dapat saya pakai untuk menyelesaikan masalah itu?
Apakah islam memiliki peraturan seperti itu?’ Saya pun akhirnya menjelaskan
bahwa di dalam islam si gadis memiliki hak untuk menuntut pamannya dan memaksa
pamannya untuk memberinya nafkah. Gadis itu kemudian berkata lagi, ‘Andai kami
memiliki peraturan seperti Islam, tidak akan ditemukan antrean panjang
gadis-gadis yang bekerja di pabrik atau toko-toko sejak pagi buta. Mereka
melakukan itu karena tidak ada yang menanggung nafkahnya’.“
Dr. Yusuf
Al-Qaradhawi berkomentar dalam tulisannya mengenai kisah ini. Beliau
menyampaikan bahwa melihat kenyataan seperti itu, bagaimana mungkin kita meniru
nilai, aturan, serta perbuatan mereka atau kita mengatakan bahwa wanita harus bekerja
dan sejajar dengan pria? Wanita yang bekerja pun tidak salah jika memang dia
sangat membutuhkan pekerjaan atau masyarakat islam sangat membutuhkan
peranannya, semisal menjadi guru, dokter, perawat atau bidan serta peran di
bidang lainnya. Artinya, pekerjaan wanita tersebut harus benar-benar karena
kebutuhan dan tidak menyimpang dari fitrah serta kodrat kewanitaannya. Muslimah
seyogianya memiliki kepercayaan diri dan menyadari perbedaan latar belakangnya
dengan wanita-wanita barat. Pada akhirnya, muslimah mampu melepaskan diri dari
taklid dan keterikatan atau ketertarikan terhadap pemikiran wanita barat*.
Sebagian muslimah
tidak menyadari bahwa hak hidupnya telah dijamin dalam syariat rahmatan lil alamin, Al-Islam. Salah
satu pihak yang begitu patut bersyukur atas turunnya agama yang dibawa oleh Rasulullah
SAW ini adalah wanita. Betapa tidak, dahulu di zaman jahiliyah wanita juga
anak-anak perempuan seperti tidak punya nilai. Ketika islam hadir, sinar-sinar
harapan akan kehidupan yang terjamin menghiasi wajah-wajah para wanita. Di
dalam islam, wanita begitu utama dan mulia kedudukannya. Hak dinafkahi telah
diatur sedemikian rupa sehingga wanita berada dibawah tanggung jawab laki-laki
baik itu ayahnya, saudaranya, anaknya, atau suaminya. Perlu digarisbawahi, di
bawah tanggung jawab laki-laki. Tidak seperti yang lebih sering diungkit-ungkit
bahwa dalam islam wanita berada di bawah kekuasaan laki-laki. Adapun wanita
tetap memiliki kewajiban-kewajiban untuk diselaraskan dengan hak yang
diperolehnya. Kembali teringat bab ‘Hak dan Kewajiban’ pada buku-buku PPKn kita
semasa bangku sekolah dulu.
Kembali lagi
kepada topik awal, sejak dulu wanita senantiasa berusaha untuk keluar dari
kelemahan, kemunduran, serta dekadensi moral. Sunnatullahnya, wanita pun dikaruniai kecerdasan, rasa ingin tahu,
dan hal-hal yang memang lumrah ada sebagaimana dimiliki pula oleh kaum Adam.
Sejarah islam banyak mencatat bagaimana kiprah muslimah terutama Ummul Mukminin
dalam menyampaikan fatwa dan pelajaran. Imam As-Syafi’i bahkan pernah hadir
dalam halaqah Sayyidah Sakinah binti Al-Husein. Hal ini memberi kita gambaran
bagaimana peran wanita pada zaman Rasulullah dan setelahnya (pada masa-masa
kejayaan dan peradaban islam). Ada pula muslimah yang dalam shirah dikisahkan ikut berperang memegang
pedang dan menunggang kuda.
Mencoba
menengok sosok yang begitu dekat dengan kita, Ibu kita Kartini. Hampir setiap
memasuki bulan April di setiap perputaran tahun, Ibu kita ini ramai
disebut-sebut namanya. Pada awal perkenalannya dengan islam, tidak mengherankan
jika sang Ibu, sosok wanita cerdas dan kritis, kesal ketika tidak mengerti maksud
dari ayat-ayat yang wajib ia lantunkan setiap hari oleh guru mengaji. Kekesalan
itu ia sampaikan kepada teman Belandanya melalui surat. Sayangnya, surat-surat kartini
kepada temannya itu digunakan untuk membuat sebuah bingkai paradigma bahwa
Kartini adalah pejuang feminisme lokal (baca:Indonesia) untuk meyakinkan
masyarakat pribumi. Surat-surat kartini diterbitkan oleh mereka beberapa tahun
setelah Kartini meninggal. Padahal menurut rentetan sejarah, Ibu kita ini
menjadi berubah fikrahnya(baca:
pemikiran) setelah bertemu dengan Kiayi yang setelah ditantang oleh Kartini,
akhirnya bersedia menerjemahkan Al-Quran**. Sayangnya, Kartini harus puas
dengan hanya tiga belas juz terjemahan
Al-Quran dalam bahasa Jawa karena sang Kiayi wafat sebelum menyelesaikan
janjinya.
Tidak ada
larangan bagi muslimah untuk berkarya sejauh tidak menyalahi kodrat atau fitrah
kewanitaannya. Mengenai kodrat wanita, meskipun derajat serta kedudukan wanita
dan pria di mata Allah SWT sama, bukan berarti keduanya sama dalam hal
penciptaan. Mari tengok mushaf kita, Q.S Ali-Imran:195. Di situ dikatakan ”....sebagian kamu adalah turunan dari
sebagian yang lain...”. Firman Allah SWT ini menyiratkan bahwa laki-laki
dan perempuan satu sama lain saling membutuhkan. Hal-hal yang tidak dapat
disempurnakan oleh laki-laki akan disempurnakan oleh perempuan, berlaku pula
sebaliknya.
Alih-alih
mengikuti budaya barat khususnya mengenai wanita, ada baiknya kita para
muslimah mencari tahu hal apa yang melatarbelakangi gerakan-gerakan emansipasi
yang begitu berkobar meski saat ini wanita sungguh tidak lagi dibatasi
hak-haknya. Sebab tulisan ini tidak cukup mumpuni untuk memberikan pemahaman
utuh kepada muslimah termasuk penulis. Selain itu, perlu juga para muslimah
giat mengkaji Hak serta Kewajibannya sebagai anak atau mungkin istri serta
peranannya dalam masyarakat. Islam telah mengatur itu semua dengan
sebaik-baiknya. Mari kembali mentadabburi
Q.S Al-Baqarah: 138, “Sibghah Allah. Dan
siapakah yang lebih baik sibghahnya daripada Allah? Dan hanya kepada-Nya lah
kami menyembah”.
Terakhir
sebagai penutup, dalam tulisan DR. Yusuf Al-Qaradhawi tentang muslimah, ada
sebuah pesan yang dapat kita jadikan dasar untuk menyaring berbagai pemikiran
yang bepotensi mempengaruhi cara pandang kita terhadap diri kita (muslimah)
sendiri. Pesan itu yakni: Sekali lagi
perlu kita tegaskan, jika dalam budaya barat terdapat kebaikan, sesungguhnya
semua telah didahului Islam dan kalau pun ada keburukan-keburukan, Islam telah
lebih dulu mengajarkan kebenaran. Bagaimana mungkin kita masih menuntut sajian
lain dari pihak yang tengah kekurangan? Sesungguhnya Allah SWT telah membuat
kita kaya dengan islam. Wallahu’alam.(rp)
Keterangan:
*tanpa
maksud men-generalisasi
**pada masa
itu Al-Qur’an dilarang keras untuk diterjemahkan ke dalam bahasa pribumi oleh
pemerintah Belanda masa penjajahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar