M
|
engapa
aku terlahir dalam keluarga seperti ini??? Keluhku dalam hati. Ayah hanya seorang ayah rumahan saja
di tengah kota hujan kelahirannya ini, sedang ibu malah bekerja mencari uang di
ibu kota sana. Tiap pagi buta sebelum berangkat kerja ibu selalu memasak menu untuk
makan siang, namun cita rasanya seringkali hambar dan tak nikmat rasanya
menyantap sayur hambar, ditambah lagi sudah dingin. Kuharap ayah bisa menggantikan
peran ibu di rumah. Tapi mana mungkin, ia saja jarang ada di rumah.
Aku
selalu berharap ibu ada di rumah bukan mencari uang terus, aku kan juga ingin punya
ibu seperti ibunya kawan-kawanku. Ibu yang tinggal di rumah, masak makanan yang
enak-enak serta mempersiapkan segala kebutuhan mereka sebelum berangkat ke
sekolah. Atau juga yang ibunya membuka lembaga les di rumah, jadi kan anaknya
tak perlu repot-repot mengikuti lembaga les di luar sana yang notabene malah
nambah biaya saja. Ibu mendaftarkanku disebuah lembaga les bahasa asing,
padahal setahuku ibu jago bahasa asing dan mengapa tidak ibu saja yang
mengajarkanku? Rumahku kan terletak di pojok gang sebuah desa kecil, jadi kalau
aku ikut les di daerah perkotaan malah lebih mahal diongkos bulanan dibanding
biaya lesnya.
Malasnya lagi setiap sore bebek-bebeknya Pak Bejo dilepas
dijalan pintas yang biasa kulalui. Karena aku diburu waktu untuk cepat sampai ke
tempat les, kadang aku tetap nekat melewati gerombolan bebek sambil jalan
pelan-pelan, tapi bebek-bebek cerewet itu tak bisa tinggal diam dengan
keberadaanku, hingga larilah aku dikejarnya. Mulai sekarang tak kulewati lagi
jalan pintas penuh bebek itu, aku berangkat les lewat jalan umum yang jaraknya
lebih jauh sehingga harus menggunakan angkutan umum.
Sudah
seringkali aku memohon kepada ibu untuk tidak usah bekerja saja, beragam jurus
rengekan dan rayuan saat aku masih bocah ingusan dulu hingga menjadi remaja kini
rasanya tak pernah mempan. “Ibu, ayo dong
bu di rumah saja… jadinya kan Nana punya teman cerita gitu bu, jadinya kan ibu
tak perlu capek bekerja bu… ya bu, ya bu, ya bu??” rayuku sambil senyum
selebar-lebarnya. “Teu bisa atuh neng
geulis… ibu kan masih harus berjuang mencari nafkah untuk anak semata wayang
ibu yang tersayang ini,” bisiknya lembut sambil mengelus pipiku. “Iya tapinya kan ayah saja bu… Ayah kan
laki-laki!” tuntutku sambil memanyunkan bibir. Ibu menatapku dalam-dalam
kemudian tersenyum lembut dan berkata, “Tidak
bisa Miftahul jannah...” Ah! Kesal sekali aku, ibu… mengapa kau terlalu
tangguh? mengapa kau tak mau mengeluh? padahal kau melihat ayah diam saja di
rumah. Tak masak, tak peduli ketika tampang rumah seperti kapal pecah, bahkan
tak mengurusi anak gadis yang kau bilang tersayang ini. Lelaki
itu hanya sibuk dengan hobinya saja, mengurusi motor butut top nomor satunya.
Kalau sudah besar nanti aku tidak mau ah menjadi seperti
ibu. Yang kerjanya hanya cari uang, yang masih mau saja mengurus suami yang
acuh kepadanya. Usiaku kini sudah 12 tahun… aku kan butuh banyak waktu untuk
berbagi cerita dengan ibu, tapi ibu sepertinya malah lebih memilih uang
dibanding aku. Buktinya ibu rela berangkat pagi buta ke tempat kerjanya dan
pulang ke rumah ba’da isya. Masa dalam sehari kami hanya berbincang selama dua
jam saja, mana aku puas? Aku kan maunya ibu selalu ada bersamaku. Akhir minggu
pun ibu harus sibuk mengurus pengajian ummahat di surau dekat rumahku. Sore
hari dan ba’da maghribnya barulah tiba giliran waktu spesialku bersama ibu, betapa
tak ingin kulalaikan waktu mengaji bersama ibu, ia mengajariku dengan segenap
perhatiannya, membuatku betah berlama-lama. Ibu sering menceritakan tentang
kehebatan Allah, ibu selalu bilang kalau Allah lah Yang Maha Menciptakan
Semesta Alam! pokoknya tak ada satupun bandinganNya! Untuk hal yang satu inilah
ibu tak pernah mendaftarkanku belajar di tempat les manapun, tapi cukup dengan
ibu… ya mengaji dengan ibu saja. Selepas mengaji hatiku bahagia tak terkira!
Walau kebahagiaan ini tak pasti bertahan berapa lama, karena esok pagi ibu
harus kembali sibuk dengan dunia kerjanya.
Hari ini
adalah hari terakhir ujian semester di Madrasah tsanawiyah dekat desaku. Aku
kesiangan hari ini, alasannya karena aku belajar sampai larut malam, di samping
itu ada niat lain dihatiku. Ya, menunggu ibu pulang kerja… katanya ibu harus
lembur kerja, jadinya kutunggu. Namun sampai aku tertidur pulas di meja ruang
tamu ibu tetap tak kunjung datang, ayah pun tak pulang lagi malam ini. Ba’da dzuhur
aku pulang ke rumah dan langsung menuju kamar, kuhempaskan tubuh tepat diatas
kasur empukku sambil menekan tombol ON pada kipas angin. Badanku hari ini sungguh
tidak enak, aku curiga ini adalah efek kekurangan tidur kemarin dan leherku
pegalnya minta ampun. “Ah tak mau lagilah
Nana tidur sofa, lebih baik Nana tidur di atas kasur deh,” aku berbicara
sendiri.
Ternyata
ibu baru pulang malam ini, aku hanya membenamkan wajahku dibalik bantal ketika
ibu masuk ke kamar untuk meminta maaf. Semakin kurapatkan bantal menutupi
telingaku ketika merasakan ibu ikut tidur di atas kasurku. Aku
sebal sama ibu. Pokoknya Nana sebal sekali sama ibu! Ucapku dalam hati. “Nana… Nana lihat ibu dong sayang…” pinta
ibu memelas, namun kuacuhkan saja. “Ya
sudah… ibu minta maaf ya… kemarin malam ibu sudah berusaha telepon ke rumah
berkali-kali untuk minta di jemput karena tak ada lagi kendaraan umum yang beroperasi
ketika larut malam. Namun tidak ada yang mengangkat telepon ibu Na... Jadilah
ibu tidak bisa pulang dan menginap di rumah teman ibu. Nana marah ya ibu tidak
pulang? Maafkan ibu ya sayang, jangan ngambek lagi ya Na, ibu belikan kue
klepon kesukaan Nana ada di atas meja makan ...” Apa??? Ternyata aku salah
prasangka kepada ibu. Bodohnya aku yang egois ini. Aku pun terdiam sambil
menahan sesak didada, menunggu jatuhnya bulir-bulir air mata penyesalan sambil mendengar
langkah kakinya berjalan keluar dari kamarku. Setelah itu banjirlah bantal
empuk kesukaanku dengan bulir-bulir tetesan air mata yang makin lama makin deras.
Dadaku sesak sekali, “Ma…af… maaff… kaa..nn…
Nan… Nanaa… ibbuuuu…” ucapku sambil terisak. Sayangnya ibu tak mendengar
kalimat permintaan maafku.
Malam semakin larut, tak sadar setengah
jam sudah aku menangis, mengutuk segala kedurhakaanku, menampik segala
perhatian tulus dan kata maafnya, mengingati segala perjuangan hidupnya demi
melahirkan dan membesarkanku, air mataku seperti tak habis-habis rasanya. Aku ingat
ibu pernah mengajarkan untuk berwudhu lalu membaca qur’an agar mendapat ketenangan
ketika hati sedang bersedih, kemudian aku pun melakukannya. Kubuka mushafku lalu
mulai kubaca ayat-ayatNya disurah ke 19. Tibalah aku pada ayat ke-23, “Kemudian rasa sakit akan melahirkan memaksanya
(bersandar) pada pangkal pohon kurma, dia (Maryam) berkata, ‘Wahai, betapa (baiknya) aku mati sebelum ini, dan aku menjadi
seorang yang tidak diperhatikan dan dilupakan.’” Terjemahan itu kembali membuat bulir-bulir
air mataku berjatuhan di atas lembaran-lembaran suciNya, walau aku tak begitu
paham maksud ayat tersebut tapi aku tahu itu adalah tentang perjuangan seorang
ibu saat melahirkan anaknya, betapa tergambar dengan jelas rasa sakitnya. Mau jadi apa anak sepertiku yang terlalu acuh
dengan segala kepentingan ibunya. Terlebih mengingat sikapku setengah jam yang
lalu. Mengapa aku pura-pura tidak ingin mendengarkan suaranya, pura-pura tidak
ingin berada didekatnya, padahal suara dan dekapannya adalah hal yang selalu
aku rindukan, sangat kurindukan setiap saatnya. Astaghfirullah…
Malam
itu juga kuketuk pintu kamar ibu, aku sudah bertekad bulat berlapis baja
sehingga tak ada yang bisa mengganggu niat permintaan maafku pada ibu. Ketika
kumasuki kamarnya ia sudah tertidur lelap sendirian, tak tegalah aku membangunkannya.
Kupegang tangan keriput ibu, lalu kuciumi. Ya
Allah… urat tangannya terlihat timbul-timbul begitu. Selama ini ibu pasti sudah
sangat lelah dan bekerja dengan keras demi menghidupiku. Kutekan-tekan pelan
urat-urat yang timbul itu, lucu sekali… kutekan pelan lalu timbul lagi,
berulang-ulang. Aku tidak jadi menjalankan niat mulia yang sudah kubawa selepas
mengaji tadi, ibu sudah terlanjur tidur percuma saja toh ibu tak akan mendengar.
Lebih baik besok saja aku meminta maafnya. Nah! Besok kan hari minggu, biarlah
kuucap kalimat permintaan maaf terindahku pada momen mengaji bersama ibu. Ah!
Aku memang pintar, aku akan membuat kejutan untuk ibu besok. Sekejap itu pula
aku teringat akan kue bola hijau yang tadi ibu belikan, dengan cepat kuhampiri
meja makan dan kulahap habis tiga buah bola klepon kesukaanku itu.
Hari minggu pagi telah tiba, hari
kesukaanku karena sore harinya ibu ada untukku. “Nana sayang… Na, bangun yuk shalat shubuh bareng.” Suara ibu
membangunkanku, sketika aku pun terbangun dan bergegas mengambil wudhu, aku
malu tersadar telah terlelap di kamar ibu, muka ibu tersenyum heran, mungkin
aneh melihat anaknya yang sedang marah tapi tetap lengket berada didekatnya.
Ayam jago milik opa sebelah masih
sibuk membangunkan kami. Ibu sudah rapi dengan jilbab merah marun kesukaannya,
ia sangat cantik. “Na, ibu mau belanja ke
pasar buat pengajian ummahat nanti siang. Nana mau ikut ibu atau jaga rumah
saja?”
“Jaga rumah saja bu…”
“Yang bener? Ya
sudah Nana mau nitip apa?”
“Iya
bu, gak apa Nana jaga rumah saja… Jilbab ibu cantik, Nana juga mau satu dong
bu… hehe,”
“Iya, nanti ibu belikan yang sama
persis ya?”
“Becanda deng bu… Nana ikhlas kok
ngga dibayar juga… hehe,” ucapku sok dewasa.
“Alhamdulillah… tapi dasar Nana,
ikhlas bilang-bilang… Ibu berangkat ya nak Assalaamu’alaikum.”
“Iya dong bu, wa’alaikumussalam wa
rahmatullahi wa barakatuh!!” jawabku gembira.
Yesss, kini kesempatanku untuk merancang
acara permintaan maaf nanti sore. Kusapu rumah sebersih mungkin, kemudian
mengepel lantai sekinclong-kinclongnya. Lalu aku membuat agar-agar rumput laut merah
kesenangan ibu, alhamdulillah mudah tinggal seduh saja, kemudian kutuang ke
dalam cetakan agar-agar berbentuk hati. Telah beres semua tugasku, aku pun setengah
ketiduran di ruang tamu, tepatnya di atas sofa lagi. Ibu pulang sebentar
menaruh sayur, kemudian aku merasa ibu menciumi pipi juga keningku lalu
langsung berangkat lagi, “Rumahnya bersih
sekali… ibu berangkat ya, Assalaamu’alaikum…” ucapnya ketika pergi. “Wa’alaikumussalam..” lirihku pelan sembari pua-pura terlelap.
Kemudian
aku bangkit dari sofa dan memekikan semangat, “Aku siaaap!” seperti pekik kartun kuning ditelevisi, yang entah dirinya
terbuat dari keju atau spons cuci piring. Pekikannya mengingatkanku
pada segala rencana yang sebentar lagi akan terlaksana. Ya, aku siap! Aku pun
pergi ke dapur dan memastikan agar-agarnya sudah padat dan dingin didalam
kulkas. Berhasil! Agar-agarnya berhasil.
Lalu kuhidangkan agar-agar itu di atas meja makan yang di samping piringnya ku
sisipkan sepucuk surat yang terlampau bau parfum wangi buah-buahan milikku. Aku
tersenyum sendiri membayangkan ekspresi bahagia ibu nanti. Ah! Aku tidak sabar…
“Assalaamu’alaikum
Nana… Nana… Pak Adam… Nana…” para ummahat datang ke rumahku. “Wa’alaikumussalam ibu… ada apa ya?” jawabku
heran. “Ibu kemana Na? kok tadi tidak
mengisi pengajian?” kata Bu Jejen. “Iya
Na, Bu Adam téh tumben sekali nggak ngisi… Ibu sakit?” timpal Bu Yayah. “Tadi ibu berangkat kok… katanya mau ke
surau... tadi ibu pamit kok ke Nana…” jawabku mulai khawatir. Tak lama
datanglah Mang Koko, “Neng Nana…! Neng Nana…!”
dari kejauhan ia berteriak sambil menghempas sepedanya sembarangan dan lari
terbirit-birit ke arahku, “Na! dicariin
ibu Na! di rumah sakit.” Mang Koko menyampaikan sekenanya. “Innalillahi!!!” ucap ummahat
berbarengan, “Innalillahi… Ibu Nana…??? ibu
Nana kenapa Mang???” aku
panik dan menangis di tempat. “Aduh
neng Nana téh jangan nangis atuh, nanti Mang Djaja dateng bawa motor, biar
cepet Nana sama Mang Djaja aja yah ke rumah sakit, Pak Adam udah di sana. Mamang
mah cuma disuruh nyampein… Ibu-ibu punten nya’ titip neng Nana…
Assalaamu’alaikum.” Mang Koko pamit kepadaku dan ibu-ibu
lainnya, kemudian pergi setelah membawa kabar buruk itu.
Tibalah aku di rumah sakit setelah
Mang Djaja mengantarku dengan kecepatan tinggi yang membuatku jantungku seperti
dua kali lipat degupannya. Ayah telah duduk di samping ibu, matanya merah
berkaca-kaca. Jantungku berdegup kencang dan langsung berlari ke arah ibu yang
matanya telah terpejam rapat, pikiranku sudah buruk saja. “Ayaaah… Ib…Ibuu… kenapa?” aku berusaha bertanya meminta kejelasan
dari apa yang aku lihat pada tubuh ibu. Ayah memelukku dan menampung setiap
bulir air mataku dikemeja putihnya yang telah terkotori oleh noda darah, noda
yang sama dengan yang ada pada kasur ibu. Ayah menarik nafas dalam-dalam dan
menunggu beberapa detik sebelum bisa menjawab pertanyaanku, “Ibu sebenarnya… tidak terlalu parah…”
ayahku berhenti kemudian mengusap air mataku dengan ibu jarinya. “Ayah… ceritakan ke Nana, Nana sudah besar
yah. Nana sudah lihat… itu k-a-k-i ibuuu… kaki ibu ke mana??” air mataku
kembali menetes deras dipelukkan ayah. “Nana
sudah lihat sendiri bukan?? Kedua kaki ibu sudah diamputasi Na, tak bisa diselamatkan. Ibu terkena musibah siang
hari tadi, ia tertabrak sepeda motor yang dikendarai oleh seorang bocah berumur
9 tahun… dan tepat mengenai dua kakinya ketika sedang berjalan menuju pasar
pakaian murah.” Ayah menjelaskan ringkas. Namun… untuk apa ibu pergi ke
pasar pakaian murah, bukannya ibu pergi ke surau?
Ibu masih berada di bawah pengaruh
obat bius. Aku pun teringat akan rencanaku tadi sore, agar-agar bentuk hati
itu… surat permintaan maaf itu... belum sempat dilihatnya. Terlampau banyak goretan-goretan luka pada
tubuh ibu, menatapnya saja sudah melukai hatiku, sungguh. “Pasti ibu sedang kesakitan sekali ya Rabb…” aku berbicara sendiri
melihat kondisi ibu di depan mataku, kupejamkan mata kemudian meringis… “Assalaamu’alaikum… nak punten saya mau
jenguk ibu..” ucap seorang wanita tua yang membuyarkan kesenduanku. “Wa’alaikumussalam, iya bu silakan masuk…
silakan duduk…” ucapku sekenanya. Kemudian wanita tua itu membuka
pembicaraan, “Iya nak, jadi saya téh
pedagang di pasar pakaian murah Cikécang, waktu itu téh si ibu mau ambil pesanan
jilbab merah marun ini, ukuran S… tapi belum sempat, ibu dengar katanya Bu Adam
kecelakaan pas lagi jalan. Ya sudah ibu yang antar saja, Bu Adam téh udah bayar
neng, tapi barangnya belum diambil… ibu titip ya.” Wanita tua itu menutup
pembicaraan sembari memberikan bungkusan jilbab dan parsel buah, tak lama berselang
wanita tua tersebut pamit, katanya ia ingin menjaga toko bajunya di pasar
pakaian murah itu. Tapi tunggu, seingatku jilbab ibu kan selalu berukuran L. Kenapa
wanita tua itu memberi ukuran S??
MasyaAllah…!
Aku teringat akan permintaanku waktu itu, ibu benar-benar membelikanku jilbab
merah marun yang sama persis dengan miliknya. Ya Allah… Ibu…
Hari
ini adalah hari kelima ibu di rumah sakit, ibu sudah sadarkan diri. Nanti siang
ibu sudah boleh pulang ke rumah, alhamdulillah… ibu pulih lebih cepat dari
perkiraan dokter yang katanya harus menunggu selama seminggu. Setibanya di
rumah, ibu sudah bisa berbicara lagi, “Miftahul
Jannah…” ucap ibu lirih memanggilku. Ibu memanggilku! Aku berlari
menghampirinya yang sedang duduk di atas kursi roda milik almarhum kakekku, “Ya! Ibu! Ini Nana!” jawabku terlampau semangat, ibu tersenyum lembut
menatapku. “Nana… Maafkan… ibu ya…
sayang…” ibu terlihat berusaha keras mengucapkan kalimat itu, “Tidak bu! Ibu tidak ada salah pada Nana! Nana
yang minta maaf ya buuu…” aku menangis berlutut dihadapannya. “Mulai hari ini… sampai seterusnya… ibu akan
selalu menemani Nana di rumah. Mendengarkan setiap cerita Nana… mengurusi Nana….
mengajarkan Nana bahasa asing… dan kita bisa mengaji bersama kapanpun Nana mau…”
mata ibu berkaca-kaca, kemudian ibu menangis terisak sambil menutup mukanya,
" Faghfirliy yaa Rabb..
faghfirliy… " ucapnya. Aku langsung memeluknya tanpa mengucap
satu patah katapun. Pikiranku mulai melayang, mengingati segala do’a, permintaan,
rengekan,
maupun rayuanku dulu… ternyata Allah telah mengijabahnya. Kuakui, aku bahagia
bisa melihat ibu setiap hari di rumah. Tapi… tapi tidak dengan kondisinya yang
berada di atas kursi roda seperti itu… Ampuni
Nana Ya Allah.
Selepas
kejadian yang telah menimpa ibu, ayahku mulai berubah, motor kesayangannya kini
telah di jual pada Pak Bejo. Dan hasil jual motor kesayangannya dijadikan modal
untuk buka warung kecil-kecilan. Ya tentu saja, ibu dan aku sangat menghargai
penuh upaya ayah yang mulai berusaha untuk menafkahi keluarga kecilnya walau
tak seberapa. Kini aku mulai mengerti, mengapa ibu keras pada pendiriannya
untuk tetap bekerja. Ya, tidak lain
ialah demi aku, demi pendidikanku, dan demi masa depanku. Kalau bukan ia yang
berjuang menjemput rezeki, siapa lagi??? Terimakasih ibu, maafkan Nana ya bu…
“Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal
itu amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak
baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah : 216.)
Oleh: Milka Anggun
PensClub Nuraniku UNJ
FBS – Jurusan bahasa Prancis
Universitas
Negeri Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar