Oleh: Lisfatul Fatinah*
Berapa banyak dari kita yang sedang atau
pernah doa-doanya belum terkabulkan? Pasti banyak di antara kita yang pernah
mengalami hal ini. Lalu, apa yang biasanya kita lakukan ketika doa tidak
kunjung terijabahkan?
Sebagian dari kita mungkin sibuk
mengingkari kehendak-Nya yang belum kunjung mengabulkan doa. Contohnya
bermacam-macam, mulai dari menganggap Allah tidak adil, Allah jahat, dan
sebagainya hingga mulai berhenti berdoa dan memasrahkan diri sepenuhnya dalam
kegagalan.
Sebagian lainnya mungkin ada yang
berpikiran positif dengan menyugesti diri dengan berbagai kemungkinan baik.
Misalnya dengan pernyataan-pernyataan, mungkin belum waktunya doa ini
terkabulkan, mungkin saya kurang beramal, mungkin saya kurang beribadah,
mungkin saya belum cukup baik untuk menerima pengijabahan doa itu, dan
kemungkinan baik lainnya.
Di balik dua hal di atas, ada satu hal yang
luput dari jangkauan kita. Satu hal ini sejatinya sangan mungkin menjadi
jawaban dari pertanyaan di paragraf pertama. Satu hal tersebut adalah
keyakinan.
Keyakinan sejatinya menjadi aspek lain
dalam segala hal yang memungkinkan usaha kita bisa terwujud ataupun tidak,
termasuk usaha dalam berdoa. Sebuah keyakinan dalam berdoa menjadi titik fatal
seorang hamba yang meminta kepada Penciptanya. Ketika doa termuajatkan, sisanya
adalah kinerja doa yang menjamin apakah doa tersebut lekas tiba di Tangan Allah
ataupun tidak.
Analoginya, besar-kecilnya keyakinan
seseorang dalam berdoa adalah seperti baik-buruknya kendaraan yang digunakan
manusia dalam pergi ke suatu tempat. Jika keyakinan doa yang dimiliki seseorang
begitu besar, berarti seseorang ini telah menempatkan doanya pada sebuah
pesawat yang akan mengantarkan doanya begitu cepat kepada Allah subhaanahu wa ta'ala.
Sedangkan seseorang yang krisis keyakinan
dalam doanya adalah sama seperti menitipkan doanya pada mobil ringkih yang acap
kali mogok dalam perjalanannya menuju Allah subhaanahu wa ta'ala. Hasilnya, keraguan doanya
malah menyesatkan hatinya sendiri lalu timbullah alasan-alasan dan pembenaran
yang direka-reka pada Allah. Akhirnya muncullah kesu’uzanan seorang hamba
kepada Penciptanya, seperti beranggapan Allah tidak adil dan ain sebagainya.
Begiitulah perbedaan doa antara seorang
hamba yang yakin doanya akan dikabulkan dengan yang tidak. Terlepas dari hal
keyakinan, keseimbangan dalam berdoa juga perlu diperhatikan. Misalnya
keseimbangan ibadah dan doa yang kita panjatkan. Jangan sampai ibadah kita
compang-camping, tetapi doa yang kita rapalkan berlembar-lembar jumlahnya,
hamba yang seperti ini biasanya saya menyebutnya sebagai “hamba yang tidak tahu
diri”.
Sebutan di atas memang kasar, tetapi
setidaknya itu layak untuk seorang hamba yang terlalu banyak meminta hak tanpa
menunaikan kewajiban. Akhiran, mari sama-sama memperbaiki ibadah kita sambil
terus memohon kepada Allah akan hajat-hajat kita. Tak lupa pula, perkuat
keyakinan kita atas doa-soa yang termunajat. Semoga semua doa dan munajat kita
terijabah atau diganti dengan yang lebih baik lagi oleh Allah subhaanahu wa ta'ala. Aamiin.
(*)Mahasiswa PLB FIP UNJ 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar