Jumat, 25 Mei 2012


Budaya Keseharian Dalam Bingkai Islami: Teladani Akhlak Rasul
Hilda Nur Wulandari
Zaman telah banyak mengalami perubahan. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) turut menjadi sumbangsih penyebab perubahan ini. Tak dipungkiri kemajuan IPTEK melalui internet dan teknologi informasi telah membawa kemudahan dalam menjalani hidup. Mesin-mesin canggih semakin bermunculan, seperti televisi, komputer, notebook, serta berbagai jenis handphone dan smartphone sehingga semua orang mudah mengakses informasi ter-update dalam waktu singkat.
Akan tetapi, rupanya kemajuan ini memicu terjadinya degradasi moral di masyarakat. Salah satu penyebabnya ketika kemajuan IPTEK tidak disertai dengan pemahaman moral. IPTEK mendorong manusia melakukan hal yang kurang bermanfaat. Namun, hal ini bisa dianggap wajar ketika hak asasi jadi landasannya. Keluwesan informasi untuk memasuki sisi kehidupan masyarakat tak dapat lagi dibendung. Perubahan pun menjadi niscaya sebab interaksi berlangsung selama eksistensi manusia di muka bumi ini.
Problematika kesadaran moral tengah menjangkiti masyarakat terutama kaum muda. Perilaku menyimpang seperti seks bebas, penggunaan narkoba, dan lainnya tak jarang menjadi pemberitaan di berbagai media. Berdasarkan data Komnas Pendidikan Anak, sebanyak 62,7 persen remaja di Indonesia pernah melakukan hubungan layaknya suami istri. Sementara, data dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyatakan sebanyak 51 persen remaja pernah melakukan seks bebas dan menurut data dari BNN dari tahun 2003 sampai 2010 terjadi kenaikan transaksi narkoba sebanyak 300 persen[1].
Rasa ingin tahu memang hal wajar bagi seorang manusia. Proses ini berjalan seiring dengan perkembangan pola pikir individu, baik itu daya pikir, nalar, maupun keingintahuannnya. Namun, amat disayangkan ketika ilmu pengetahuan yang dimiliki tidak diiringi dengan pemahaman moral. Untuk itu, kontrol diri amat penting dalam mencegah dari perbuatan amoral dan tak lupa memperhatikan perkembangan individu sejak dini agar apa yang tersampaikan melekat kuat hingga ia menjadi dewasa.
Budaya Sehari-Hari dan Perkembangan Moral
Koentjaraningrat mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan sistem ide/gagasan, perilaku, serta hasil perilaku manusia yang dimiliki melalui proses belajar. Budaya dilakukan dalam keseharian untuk menjaga kekonsistenan sikap. Demikian halnya dalam membentuk karakter seorang individu, diperlukan proses belajar yang termaktum dalam budaya keseharian. Karakter yang terbentuk nantinya menjadi kepribadian/karakter khas pada diri individu tersebut.
Hal ini senada dengan pendapat dari seorang Zaghalul an-Najjar yang mengatakan bahwa pembentukan akhlak utama tidak diperoleh hanya dengan nasihat, hafalan, atau persuasi logis saja. Tetapi ia membutuhkan aktivitas praktis yang dilakukan seseorang agar terbiasa dengan akhlak utama ini, sehingga akhlak tersebut menjadi bagian dari entitasnya dan watak dalam dirinya, sehingga hatinya tidak tenang tanpa akhlak itu, dan nuraninya gelisah bila ia menentangnya[2].
Selain itu, nilai dan moral seharusnya mampu menjadi pembatasan perilaku seorang manusia. Lantas, bagaimana dengan sistem hukum? Bukankah aturan hukum lebih kuat daripada nilai dan moral, memiliki sanksi dan aturan yang memaksa, tapi bagaimana realitanya? Dalam telaah Ilmu Sosial Budaya Dasar, aturan hukum hanya bisa berjalan ketika setiap diri yang berkenaan dengan hukum memiliki perasaan bermoral yang baik. Ia merasa harus melakukan yang benar agar tercipta keserasian dalam masyarakat. Masalahnya sejauh apa pemahaman masyarakat tentang nilai dan moral sehingga kesadaran menaati aturan itu pun muncul dengan sendirinya.
Ouska dan Whellan (1997) mendefinisikan moral sebagai prinsip baik-buruk yang ada dan melekat dalam diri individu/seseorang. Moral sangat berkaitan dengan hati nurani seorang individu. Kesadaran moral ini dapat menjadi karakter yang khas/kepribadian ketika dilakukan secara kontinyu.
Dalam buku Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (Elly M. Setiadi, 2007), problematika moral dibagi atas problematika dalam pembinaan dan perkembangan moral. Problematika pembinaan moral dipengaruhi oleh keluarga dan teman sebaya. Keluarga menjadi penyebab tidak tersampainya pendidikan moral ketika interaksi antara anak dan orang tua terhambat. Hal ini bisa disebabkan oleh kesibukan orang tua dalam bekerja sehingga perhatian terhadap anak terabaikan. Problematika pembinaan moral juga dapat disebabkan oleh teman sebaya. Siapa yang menjadi teman bermain anak dapat mempengaruhi perilakunya apakah sesuai moral atau tidak. Di sinilah peran orang tua diperlukan untuk mengarahkan anak dalam bergaul.
Sedangkan problematika perkembangan moral dipengaruhi oleh empat hal yaitu figur otoritas, media komunikasi, otak/proses berpikir, dan informasi. Sebagaimana diketahui, figur otoritas ialah siapa saja yang menjadi figur anak dalam hidupnya. Figur yang ia lihat bisa menjadi tolok ukur perilaku. Kedua, otak/ proses berpikir. Daya kritis anak bisa menentukan perkembangan moral yang ia pahami. Peran pendidik dan orang tua sangat menunjang dalam merangsang daya pikir anak agar tidak langsung menerima apa yang ia lihat atau dengar.
Ketiga, media komunikasi. Pengaruh media amat cepat dalam membentuk pemahaman anak terhadap perilakunya. Apa yang ia lihat bisa menjadi pengetahuan apakah perilakunya benar/tidak. Bahkan tanpa sadar, apa yang dilihat dapat ditiru mentah-mentah karena telah mendapat persetujuan dari media. Pengaruh terakhir yakni informasi. Hal ini berkaitan erat dengan media karena dari sanalah informasi didapat. Informasi menjadi pengetahuan dasar bagi anak. Ketika pengetahuan membentuk pola pikir, tak menutup kemungkinan akan menjadi standar berperilaku.
Ke semua problematika di atas memerlukan proses sosialisasi dalam memperbaiki moral individu. Pengetahuan yang benar pun dibutuhkan untuk memberikan pemahaman yang benar. Proses sosialisasi ini dilaksanakan oleh pihak-pihak yang dinamakan agen-agen sosialisasi. Tokoh sosiologi Fuller dan Jacobs mengidentifikasi lima agen sosialisasi utama, yaitu keluarga, kelompok bermain, media massa, dan lembaga pendidikan[3]. Agen sosialisasi ini mesti berupaya mengkontrol individu dalam tingkah laku kesehariannya.
Akhlak Mahmudah: Pendidikan Agama Yang Utama
Masalahnya, sering kali agen sosialisasi absen ketika anak butuh bimbingan dalam menjawab segala rasa ingin tahunya. Bahkan mereka tidak dapat diandalkan karena pengetahuan agen sosialisasi kurang memadai. Karena itu diperlukan solusi lain untuk mendapatkan pengetahuan moral. Salah satunya adalah dengan pendidikan agama. Dari sinilah sumber pengetahuan moral bisa diperoleh. Pembelajaran agama sudah semestinya dapat menjawab problematika moral dan memberi pemahaman anak tentang perilaku yang seharusnya agar keteraturan sosial dapat diwujudkan.
Keteraturan sosial perlu tercipta karena kita hidup di dunia ini tidak sendiri, sebagaimana konsep manusia sebagai makhluk sosial. Untuk itu, setiap diri mesti memiliki rasa sosial agar tercipta kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satunya melalui pembelajaran agama yang berkaitan dengan akhlak. Dalam kitab Ihya’ Ulumudin, diungkapkan al-khulk (akhlak) ialah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan perimbangan (Al-Ghazali, Ihya’ Ulumudin, Vol, III:56)[4].
Dalam islam, akhlak dibagi menjadi dua, akhlak mahmudah dan madzmumah. Menurut Prof. K. H. Masdar Helmy yang termasuk akhlak mahmudah atau baik yakni ikhlas, syukur, malu, qanaah, amanah, iffah, tawadhu, adil,  keberanian, istiqamah, taubat, sabar, pemaaf, mujahadah, tawakal, toleransi islam, ash-shidqu, dan muraqabah. Sedangkan akhlak madzmumah atau tercela yaitu ujub dan takabur, riya’ dan sum’ah, dengki, kikir, marah, dusta, zhalim,tamak, dan penakut.
Akhlak terpuji tersebut bukanlah bersumber pada akal, hati nurani/ pandangan masyarakat melainkan bersumber dari alquran dan al-hadist sebagai sumber hukum islam yang dapat menjadi pedoman dalam menjalani hidup. Meskipun, sepanjang pemilik hati nurani, akal, adat istiadat masyarakat, bisa mengikuti dan berpedoman kepada ajaran Allah terutama yang bersumber dari alquran dan hadist, tentu dapat dijadikan untuk menentukan baik atau buruknya sesuatu.[5]
Pendidikan sebagai usaha transfer ilmu dari pendidik kepada peserta didik amat ditentukan oleh lingkungan alamiah si peserta didik. Begitu pula saat proses mentransfer ilmu agama kepada peserta didik. Pendidikan agama tidak hanya diajarkan ketika di sekolah tapi juga dalam kesehariannya. Sebab akhlak bukan hanya sekadar teori, tapi mesti diaplikasikan oleh peserta didik. Sebagai buah dari iman, akhlak memberi tahu kita bagaimana pola pikir seseorang terhadap lingkungannya. Melalui akhlak ini pula karakter seseorang tampak sebagai refleksi dari keimanannya.
Pembentukan karakter dimulai sejak anak berusia dini. Karakter tersebut kemudian mengalami perkembangan hingga ia menjadi dewasa. Proses panjang ini berlangsung selama ia hidup karena itu dikenal proses belajar seumur hidup (madal hayah). Pendidikan agama sebagai salah satu sumber pengetahuan moral dalam membentuk karakter seorang individu dituntut dapat menjadi wadah pedoman agar akhlak mahmudah meresap dengan baik sebagai nilai yang mendarah daging.
Tak hanya itu, dalam membentuk karakter yang baik membutuhkan keteladanan dari orang lain. Teladan menjadi lentera dan pembimbing dalam perjalanannya menuju Tuhannya.[6] Seperti sebelumnya dikatakan bahwa figur otoritas amat penting dalam perkembangan moral individu. Dalam islam telah jelas siapa yang patut diteladani akhlaknya. Beliaulah Rasulullah SAW. Allah Ta’ ala berfirman:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (Al-Ahzab [33] : 21)
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal yakni untuk membentuk karakter dan akhlak mahmudah memerlukan peran aktif dari semua pihak. Agen sosialisasi seyogyanya memberi pengetahuan moral agar kesadaran moral dapat terbentuk. Sebagai bentuk budaya keseharian, si individu aktif belajar dan membiasakan diri dalam kehidupan sehari-hari untuk berperilaku yang baik.
Kemudian, proses pendidikan agama memberi stimulus dalam perkembangan moral sehingga kontrol diri dapat diwujudkan. Rasulullah dapat menjadi figur teladan yang bisa dijelaskan melalui kisah menarik seperti dengan buku cerita. Begitu pula dalam penggunaaan teknologi. Seorang individu berupaya memanfaatkan teknologi untuk tujuan maslahat. Di sini manusia berperan sebagai pengendali teknologi bukan dikendalikan teknologi. Semoga bermanfaat.

BIODATA PENULIS
Nama                         : Hilda Nur Wulandari
Prodi                          : S1 Manajemen
Angkatan                    : 2009
Fakultas                      : Ekonomi
Email                          : ilda_zigzag@yahoo.com



[1] http://ideguenews.blogspot.com/2012/02/62-persen-remaja-indonesia-pernah-seks.html
[2] Al-Ahdal, Hasyim Ali, 2009, Tarbiyah Dzatiyah, Jakarta: Robbani Press, hal. 200.
[3] http://www.ut.ac.id/html/suplemen/isip4110/sosialisasi.htm
[4] http://kafeilmu.com/2012/05/moral-menurut-pandangan-islam.html
[5] Helmy, Masdar, 2012, Keteladanan Akhlak Rasulullah Saw: Tuntunan Moral Untuk Muslim, Bandung: Pustaka Hidayah, hal. 12.
[6] Op.cit, Al-Ahdal, Hasyim Ali, 2009, Tarbiyah Dzatiyah, hal. 169.

Tidak ada komentar: