Rabu, 13 Juni 2012

Jilbab Merah Marun


M
engapa aku terlahir dalam keluarga seperti ini??? Keluhku dalam hati. Ayah hanya seorang ayah rumahan saja di tengah kota hujan kelahirannya ini, sedang ibu malah bekerja mencari uang di ibu kota sana. Tiap pagi buta sebelum berangkat kerja ibu selalu memasak menu untuk makan siang, namun cita rasanya seringkali hambar dan tak nikmat rasanya menyantap sayur hambar, ditambah lagi sudah dingin. Kuharap ayah bisa menggantikan peran ibu di rumah. Tapi mana mungkin, ia saja jarang ada di rumah.
            Aku selalu berharap ibu ada di rumah bukan mencari uang terus, aku kan juga ingin punya ibu seperti ibunya kawan-kawanku. Ibu yang tinggal di rumah, masak makanan yang enak-enak serta mempersiapkan segala kebutuhan mereka sebelum berangkat ke sekolah. Atau juga yang ibunya membuka lembaga les di rumah, jadi kan anaknya tak perlu repot-repot mengikuti lembaga les di luar sana yang notabene malah nambah biaya saja. Ibu mendaftarkanku disebuah lembaga les bahasa asing, padahal setahuku ibu jago bahasa asing dan mengapa tidak ibu saja yang mengajarkanku? Rumahku kan terletak di pojok gang sebuah desa kecil, jadi kalau aku ikut les di daerah perkotaan malah lebih mahal diongkos bulanan dibanding biaya lesnya.
Malasnya lagi setiap sore bebek-bebeknya Pak Bejo dilepas dijalan pintas yang biasa kulalui. Karena aku diburu waktu untuk cepat sampai ke tempat les, kadang aku tetap nekat melewati gerombolan bebek sambil jalan pelan-pelan, tapi bebek-bebek cerewet itu tak bisa tinggal diam dengan keberadaanku, hingga larilah aku dikejarnya. Mulai sekarang tak kulewati lagi jalan pintas penuh bebek itu, aku berangkat les lewat jalan umum yang jaraknya lebih jauh sehingga harus menggunakan angkutan umum.
            Sudah seringkali aku memohon kepada ibu untuk tidak usah bekerja saja, beragam jurus rengekan dan rayuan saat aku masih bocah ingusan dulu hingga menjadi remaja kini rasanya tak pernah mempan. “Ibu, ayo dong bu di rumah saja… jadinya kan Nana punya teman cerita gitu bu, jadinya kan ibu tak perlu capek bekerja bu… ya bu, ya bu, ya bu??” rayuku sambil senyum selebar-lebarnya. “Teu bisa atuh neng geulis… ibu kan masih harus berjuang mencari nafkah untuk anak semata wayang ibu yang tersayang ini,” bisiknya lembut sambil mengelus pipiku. “Iya tapinya kan ayah saja bu… Ayah kan laki-laki!” tuntutku sambil memanyunkan bibir. Ibu menatapku dalam-dalam kemudian tersenyum lembut dan berkata, “Tidak bisa Miftahul jannah...” Ah! Kesal sekali aku, ibu… mengapa kau terlalu tangguh? mengapa kau tak mau mengeluh? padahal kau melihat ayah diam saja di rumah. Tak masak, tak peduli ketika tampang rumah seperti kapal pecah, bahkan tak mengurusi anak gadis yang kau bilang tersayang ini. Lelaki itu hanya sibuk dengan hobinya saja, mengurusi motor butut top nomor satunya.
            Kalau sudah besar nanti aku tidak mau ah menjadi seperti ibu. Yang kerjanya hanya cari uang, yang masih mau saja mengurus suami yang acuh kepadanya. Usiaku kini sudah 12 tahun… aku kan butuh banyak waktu untuk berbagi cerita dengan ibu, tapi ibu sepertinya malah lebih memilih uang dibanding aku. Buktinya ibu rela berangkat pagi buta ke tempat kerjanya dan pulang ke rumah ba’da isya. Masa dalam sehari kami hanya berbincang selama dua jam saja, mana aku puas? Aku kan maunya ibu selalu ada bersamaku. Akhir minggu pun ibu harus sibuk mengurus pengajian ummahat di surau dekat rumahku. Sore hari dan ba’da maghribnya barulah tiba giliran waktu spesialku bersama ibu, betapa tak ingin kulalaikan waktu mengaji bersama ibu, ia mengajariku dengan segenap perhatiannya, membuatku betah berlama-lama. Ibu sering menceritakan tentang kehebatan Allah, ibu selalu bilang kalau Allah lah Yang Maha Menciptakan Semesta Alam! pokoknya tak ada satupun bandinganNya! Untuk hal yang satu inilah ibu tak pernah mendaftarkanku belajar di tempat les manapun, tapi cukup dengan ibu… ya mengaji dengan ibu saja. Selepas mengaji hatiku bahagia tak terkira! Walau kebahagiaan ini tak pasti bertahan berapa lama, karena esok pagi ibu harus kembali sibuk dengan dunia kerjanya.
            Hari ini adalah hari terakhir ujian semester di Madrasah tsanawiyah dekat desaku. Aku kesiangan hari ini, alasannya karena aku belajar sampai larut malam, di samping itu ada niat lain dihatiku. Ya, menunggu ibu pulang kerja… katanya ibu harus lembur kerja, jadinya kutunggu. Namun sampai aku tertidur pulas di meja ruang tamu ibu tetap tak kunjung datang, ayah pun tak pulang lagi malam ini. Ba’da dzuhur aku pulang ke rumah dan langsung menuju kamar, kuhempaskan tubuh tepat diatas kasur empukku sambil menekan tombol ON pada kipas angin. Badanku hari ini sungguh tidak enak, aku curiga ini adalah efek kekurangan tidur kemarin dan leherku pegalnya minta ampun. “Ah tak mau lagilah Nana tidur sofa, lebih baik Nana tidur di atas kasur deh,” aku berbicara sendiri.
            Ternyata ibu baru pulang malam ini, aku hanya membenamkan wajahku dibalik bantal ketika ibu masuk ke kamar untuk meminta maaf. Semakin kurapatkan bantal menutupi telingaku ketika merasakan ibu ikut tidur di atas kasurku. Aku sebal sama ibu. Pokoknya Nana sebal sekali sama ibu! Ucapku dalam hati. “Nana… Nana lihat ibu dong sayang…” pinta ibu memelas, namun kuacuhkan saja. “Ya sudah… ibu minta maaf ya… kemarin malam ibu sudah berusaha telepon ke rumah berkali-kali untuk minta di jemput karena tak ada lagi kendaraan umum yang beroperasi ketika larut malam. Namun tidak ada yang mengangkat telepon ibu Na... Jadilah ibu tidak bisa pulang dan menginap di rumah teman ibu. Nana marah ya ibu tidak pulang? Maafkan ibu ya sayang, jangan ngambek lagi ya Na, ibu belikan kue klepon kesukaan Nana ada di atas meja makan ...” Apa??? Ternyata aku salah prasangka kepada ibu. Bodohnya aku yang egois ini. Aku pun terdiam sambil menahan sesak didada, menunggu jatuhnya bulir-bulir air mata penyesalan sambil mendengar langkah kakinya berjalan keluar dari kamarku. Setelah itu banjirlah bantal empuk kesukaanku dengan bulir-bulir tetesan air mata yang makin lama makin deras. Dadaku sesak sekali, “Ma…af… maaff… kaa..nn… Nan… Nanaa… ibbuuuu…” ucapku sambil terisak. Sayangnya ibu tak mendengar kalimat permintaan maafku.
            Malam semakin larut, tak sadar setengah jam sudah aku menangis, mengutuk segala kedurhakaanku, menampik segala perhatian tulus dan kata maafnya, mengingati segala perjuangan hidupnya demi melahirkan dan membesarkanku, air mataku seperti tak habis-habis rasanya. Aku ingat ibu pernah mengajarkan untuk berwudhu lalu membaca qur’an agar mendapat ketenangan ketika hati sedang bersedih, kemudian aku pun melakukannya. Kubuka mushafku lalu mulai kubaca ayat-ayatNya disurah ke 19. Tibalah aku pada ayat ke-23, “Kemudian rasa sakit akan melahirkan memaksanya (bersandar) pada pangkal pohon kurma, dia (Maryam) berkata, ‘Wahai, betapa (baiknya) aku mati sebelum ini, dan aku menjadi seorang yang tidak diperhatikan dan dilupakan.’”  Terjemahan itu kembali membuat bulir-bulir air mataku berjatuhan di atas lembaran-lembaran suciNya, walau aku tak begitu paham maksud ayat tersebut tapi aku tahu itu adalah tentang perjuangan seorang ibu saat melahirkan anaknya, betapa tergambar dengan jelas rasa sakitnya.  Mau jadi apa anak sepertiku yang terlalu acuh dengan segala kepentingan ibunya. Terlebih mengingat sikapku setengah jam yang lalu. Mengapa aku pura-pura tidak ingin mendengarkan suaranya, pura-pura tidak ingin berada didekatnya, padahal suara dan dekapannya adalah hal yang selalu aku rindukan, sangat kurindukan setiap saatnya. Astaghfirullah…
            Malam itu juga kuketuk pintu kamar ibu, aku sudah bertekad bulat berlapis baja sehingga tak ada yang bisa mengganggu niat permintaan maafku pada ibu. Ketika kumasuki kamarnya ia sudah tertidur lelap sendirian, tak tegalah aku membangunkannya. Kupegang tangan keriput ibu, lalu kuciumi. Ya Allah… urat tangannya terlihat timbul-timbul begitu. Selama ini ibu pasti sudah sangat lelah dan bekerja dengan keras demi menghidupiku. Kutekan-tekan pelan urat-urat yang timbul itu, lucu sekali… kutekan pelan lalu timbul lagi, berulang-ulang. Aku tidak jadi menjalankan niat mulia yang sudah kubawa selepas mengaji tadi, ibu sudah terlanjur tidur percuma saja toh ibu tak akan mendengar. Lebih baik besok saja aku meminta maafnya. Nah! Besok kan hari minggu, biarlah kuucap kalimat permintaan maaf terindahku pada momen mengaji bersama ibu. Ah! Aku memang pintar, aku akan membuat kejutan untuk ibu besok. Sekejap itu pula aku teringat akan kue bola hijau yang tadi ibu belikan, dengan cepat kuhampiri meja makan dan kulahap habis tiga buah bola klepon kesukaanku itu.
            Hari minggu pagi telah tiba, hari kesukaanku karena sore harinya ibu ada untukku. “Nana sayang… Na, bangun yuk shalat shubuh bareng.” Suara ibu membangunkanku, sketika aku pun terbangun dan bergegas mengambil wudhu, aku malu tersadar telah terlelap di kamar ibu, muka ibu tersenyum heran, mungkin aneh melihat anaknya yang sedang marah tapi tetap lengket berada didekatnya.
            Ayam jago milik opa sebelah masih sibuk membangunkan kami. Ibu sudah rapi dengan jilbab merah marun kesukaannya, ia sangat cantik. “Na, ibu mau belanja ke pasar buat pengajian ummahat nanti siang. Nana mau ikut ibu atau jaga rumah saja?”
“Jaga rumah saja bu…”
“Yang bener? Ya sudah Nana mau nitip apa?”
“Iya bu, gak apa Nana jaga rumah saja… Jilbab ibu cantik, Nana juga mau satu dong bu… hehe,”
“Iya, nanti ibu belikan yang sama persis ya?”
“Becanda deng bu… Nana ikhlas kok ngga dibayar juga… hehe,” ucapku sok dewasa.
“Alhamdulillah… tapi dasar Nana, ikhlas bilang-bilang… Ibu berangkat ya nak Assalaamu’alaikum.”
“Iya dong bu, wa’alaikumussalam wa rahmatullahi wa barakatuh!!” jawabku gembira.
            Yesss, kini kesempatanku untuk merancang acara permintaan maaf nanti sore. Kusapu rumah sebersih mungkin, kemudian mengepel lantai sekinclong-kinclongnya. Lalu aku membuat agar-agar rumput laut merah kesenangan ibu, alhamdulillah mudah tinggal seduh saja, kemudian kutuang ke dalam cetakan agar-agar berbentuk hati. Telah beres semua tugasku, aku pun setengah ketiduran di ruang tamu, tepatnya di atas sofa lagi. Ibu pulang sebentar menaruh sayur, kemudian aku merasa ibu menciumi pipi juga keningku lalu langsung berangkat lagi, “Rumahnya bersih sekali… ibu berangkat ya, Assalaamu’alaikum…” ucapnya ketika pergi. “Wa’alaikumussalam..” lirihku pelan sembari pua-pura terlelap.
            Kemudian aku bangkit dari sofa dan memekikan semangat, “Aku siaaap!” seperti pekik kartun kuning ditelevisi, yang entah dirinya terbuat dari keju atau spons cuci piring. Pekikannya mengingatkanku pada segala rencana yang sebentar lagi akan terlaksana. Ya, aku siap! Aku pun pergi ke dapur dan memastikan agar-agarnya sudah padat dan dingin didalam kulkas.  Berhasil! Agar-agarnya berhasil. Lalu kuhidangkan agar-agar itu di atas meja makan yang di samping piringnya ku sisipkan sepucuk surat yang terlampau bau parfum wangi buah-buahan milikku. Aku tersenyum sendiri membayangkan ekspresi bahagia ibu nanti. Ah! Aku tidak sabar…
            “Assalaamu’alaikum Nana… Nana… Pak Adam… Nana…” para ummahat datang ke rumahku. “Wa’alaikumussalam ibu… ada apa ya?” jawabku heran. “Ibu kemana Na? kok tadi tidak mengisi pengajian?” kata Bu Jejen. “Iya Na, Bu Adam téh tumben sekali nggak ngisi… Ibu sakit?” timpal Bu Yayah. “Tadi ibu berangkat kok… katanya mau ke surau... tadi ibu pamit kok ke Nana…” jawabku mulai khawatir. Tak lama datanglah Mang Koko, “Neng Nana…! Neng Nana…!” dari kejauhan ia berteriak sambil menghempas sepedanya sembarangan dan lari terbirit-birit ke arahku, “Na! dicariin ibu Na! di rumah sakit.” Mang Koko menyampaikan sekenanya. “Innalillahi!!!” ucap ummahat berbarengan, “Innalillahi… Ibu Nana…??? ibu Nana kenapa Mang???” aku panik dan menangis di tempat. “Aduh neng Nana téh jangan nangis atuh, nanti Mang Djaja dateng bawa motor, biar cepet Nana sama Mang Djaja aja yah ke rumah sakit, Pak Adam udah di sana. Mamang mah cuma disuruh nyampein… Ibu-ibu punten nya’ titip neng Nana… Assalaamu’alaikum.” Mang Koko pamit kepadaku dan ibu-ibu lainnya, kemudian pergi setelah membawa kabar buruk itu.
            Tibalah aku di rumah sakit setelah Mang Djaja mengantarku dengan kecepatan tinggi yang membuatku jantungku seperti dua kali lipat degupannya. Ayah telah duduk di samping ibu, matanya merah berkaca-kaca. Jantungku berdegup kencang dan langsung berlari ke arah ibu yang matanya telah terpejam rapat, pikiranku sudah buruk saja. “Ayaaah… Ib…Ibuu… kenapa?” aku berusaha bertanya meminta kejelasan dari apa yang aku lihat pada tubuh ibu. Ayah memelukku dan menampung setiap bulir air mataku dikemeja putihnya yang telah terkotori oleh noda darah, noda yang sama dengan yang ada pada kasur ibu. Ayah menarik nafas dalam-dalam dan menunggu beberapa detik sebelum bisa menjawab pertanyaanku, “Ibu sebenarnya… tidak terlalu parah…” ayahku berhenti kemudian mengusap air mataku dengan ibu jarinya. “Ayah… ceritakan ke Nana, Nana sudah besar yah. Nana sudah lihat… itu k-a-k-i ibuuu… kaki ibu ke mana??” air mataku kembali menetes deras dipelukkan ayah. “Nana sudah lihat sendiri bukan?? Kedua kaki ibu sudah diamputasi Na, tak  bisa diselamatkan. Ibu terkena musibah siang hari tadi, ia tertabrak sepeda motor yang dikendarai oleh seorang bocah berumur 9 tahun… dan tepat mengenai dua kakinya ketika sedang berjalan menuju pasar pakaian murah.” Ayah menjelaskan ringkas. Namun… untuk apa ibu pergi ke pasar pakaian murah, bukannya ibu pergi ke surau?
            Ibu masih berada di bawah pengaruh obat bius. Aku pun teringat akan rencanaku tadi sore, agar-agar bentuk hati itu… surat permintaan maaf itu... belum sempat dilihatnya.  Terlampau banyak goretan-goretan luka pada tubuh ibu, menatapnya saja sudah melukai hatiku, sungguh. “Pasti ibu sedang kesakitan sekali ya Rabb…” aku berbicara sendiri melihat kondisi ibu di depan mataku, kupejamkan mata kemudian meringis… “Assalaamu’alaikum… nak punten saya mau jenguk ibu..” ucap seorang wanita tua yang membuyarkan kesenduanku. “Wa’alaikumussalam, iya bu silakan masuk… silakan duduk…” ucapku sekenanya. Kemudian wanita tua itu membuka pembicaraan, “Iya nak, jadi saya téh pedagang di pasar pakaian murah Cikécang, waktu itu téh si ibu mau ambil pesanan jilbab merah marun ini, ukuran S… tapi belum sempat, ibu dengar katanya Bu Adam kecelakaan pas lagi jalan. Ya sudah ibu yang antar saja, Bu Adam téh udah bayar neng, tapi barangnya belum diambil… ibu titip ya.” Wanita tua itu menutup pembicaraan sembari memberikan bungkusan jilbab dan parsel buah, tak lama berselang wanita tua tersebut pamit, katanya ia ingin menjaga toko bajunya di pasar pakaian murah itu. Tapi tunggu, seingatku jilbab ibu kan selalu berukuran L. Kenapa wanita tua itu memberi ukuran S??
MasyaAllah…! Aku teringat akan permintaanku waktu itu, ibu benar-benar membelikanku jilbab merah marun yang sama persis dengan miliknya. Ya Allah… Ibu…
Hari ini adalah hari kelima ibu di rumah sakit, ibu sudah sadarkan diri. Nanti siang ibu sudah boleh pulang ke rumah, alhamdulillah… ibu pulih lebih cepat dari perkiraan dokter yang katanya harus menunggu selama seminggu. Setibanya di rumah, ibu sudah bisa berbicara lagi, “Miftahul Jannah…” ucap ibu lirih memanggilku. Ibu memanggilku! Aku berlari menghampirinya yang sedang duduk di atas kursi roda milik almarhum kakekku, “Ya! Ibu! Ini Nana!” jawabku terlampau semangat, ibu tersenyum lembut menatapku. “Nana… Maafkan… ibu ya… sayang…” ibu terlihat berusaha keras mengucapkan kalimat itu, “Tidak bu! Ibu tidak ada salah pada Nana! Nana yang minta maaf ya buuu…” aku menangis berlutut dihadapannya. “Mulai hari ini… sampai seterusnya… ibu akan selalu menemani Nana di rumah. Mendengarkan setiap cerita Nana… mengurusi Nana…. mengajarkan Nana bahasa asing… dan kita bisa mengaji bersama kapanpun Nana mau…” mata ibu berkaca-kaca, kemudian ibu menangis terisak sambil menutup mukanya, " Faghfirliy yaa Rabb.. faghfirliy… " ucapnya. Aku langsung memeluknya tanpa mengucap satu patah katapun. Pikiranku mulai melayang, mengingati segala do’a, permintaan, rengekan, maupun rayuanku dulu… ternyata Allah telah mengijabahnya. Kuakui, aku bahagia bisa melihat ibu setiap hari di rumah. Tapi… tapi tidak dengan kondisinya yang berada di atas kursi roda seperti itu… Ampuni Nana Ya Allah.
Selepas kejadian yang telah menimpa ibu, ayahku mulai berubah, motor kesayangannya kini telah di jual pada Pak Bejo. Dan hasil jual motor kesayangannya dijadikan modal untuk buka warung kecil-kecilan. Ya tentu saja, ibu dan aku sangat menghargai penuh upaya ayah yang mulai berusaha untuk menafkahi keluarga kecilnya walau tak seberapa. Kini aku mulai mengerti, mengapa ibu keras pada pendiriannya untuk tetap bekerja. Ya, tidak lain ialah demi aku, demi pendidikanku, dan demi masa depanku. Kalau bukan ia yang berjuang menjemput rezeki, siapa lagi??? Terimakasih ibu, maafkan Nana ya bu…
“Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah : 216.)


Oleh: Milka Anggun
PensClub Nuraniku UNJ
FBS – Jurusan bahasa Prancis
Universitas Negeri Jakarta.

Tidak ada komentar: