Budaya
Keseharian Dalam Bingkai Islami: Teladani Akhlak Rasul
Hilda
Nur Wulandari
Zaman
telah banyak mengalami perubahan. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
turut menjadi sumbangsih penyebab perubahan ini. Tak dipungkiri kemajuan IPTEK melalui
internet dan teknologi informasi telah membawa kemudahan dalam menjalani hidup.
Mesin-mesin canggih semakin bermunculan, seperti televisi, komputer, notebook, serta berbagai jenis handphone dan smartphone sehingga semua orang mudah mengakses informasi ter-update dalam waktu singkat.
Akan
tetapi, rupanya kemajuan ini memicu terjadinya degradasi moral di masyarakat. Salah
satu penyebabnya ketika kemajuan IPTEK tidak disertai dengan pemahaman moral.
IPTEK mendorong manusia melakukan hal yang kurang bermanfaat. Namun, hal ini
bisa dianggap wajar ketika hak asasi jadi landasannya. Keluwesan informasi
untuk memasuki sisi kehidupan masyarakat tak dapat lagi dibendung. Perubahan
pun menjadi niscaya sebab interaksi berlangsung selama eksistensi manusia di
muka bumi ini.
Problematika
kesadaran moral tengah menjangkiti masyarakat terutama kaum muda. Perilaku
menyimpang seperti seks bebas, penggunaan narkoba, dan lainnya tak jarang
menjadi pemberitaan di berbagai media. Berdasarkan data Komnas Pendidikan Anak,
sebanyak 62,7 persen remaja di Indonesia pernah melakukan hubungan layaknya
suami istri. Sementara, data dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN) menyatakan sebanyak 51 persen remaja pernah melakukan seks
bebas dan menurut data dari BNN dari tahun 2003 sampai 2010 terjadi kenaikan
transaksi narkoba sebanyak 300 persen[1].
Rasa
ingin tahu memang hal wajar bagi seorang manusia. Proses ini berjalan seiring
dengan perkembangan pola pikir individu, baik itu daya pikir, nalar, maupun
keingintahuannnya. Namun, amat disayangkan ketika ilmu pengetahuan yang
dimiliki tidak diiringi dengan pemahaman moral. Untuk itu, kontrol diri amat
penting dalam mencegah dari perbuatan amoral dan tak lupa memperhatikan
perkembangan individu sejak dini agar apa yang tersampaikan melekat kuat hingga
ia menjadi dewasa.
Budaya Sehari-Hari dan Perkembangan Moral
Koentjaraningrat
mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan sistem ide/gagasan, perilaku, serta
hasil perilaku manusia yang dimiliki melalui proses belajar. Budaya dilakukan
dalam keseharian untuk menjaga kekonsistenan sikap. Demikian halnya dalam
membentuk karakter seorang individu, diperlukan proses belajar yang termaktum
dalam budaya keseharian. Karakter yang terbentuk nantinya menjadi kepribadian/karakter
khas pada diri individu tersebut.
Hal
ini senada dengan pendapat dari seorang Zaghalul an-Najjar yang mengatakan
bahwa pembentukan akhlak utama tidak diperoleh hanya dengan nasihat, hafalan,
atau persuasi logis saja. Tetapi ia membutuhkan aktivitas praktis yang
dilakukan seseorang agar terbiasa dengan akhlak utama ini, sehingga akhlak
tersebut menjadi bagian dari entitasnya dan watak dalam dirinya, sehingga
hatinya tidak tenang tanpa akhlak itu, dan nuraninya gelisah bila ia
menentangnya[2].
Selain
itu, nilai dan moral seharusnya mampu menjadi pembatasan perilaku seorang
manusia. Lantas, bagaimana dengan sistem hukum? Bukankah aturan hukum lebih
kuat daripada nilai dan moral, memiliki sanksi dan aturan yang memaksa, tapi
bagaimana realitanya? Dalam telaah Ilmu Sosial Budaya Dasar, aturan hukum hanya
bisa berjalan ketika setiap diri yang berkenaan dengan hukum memiliki perasaan
bermoral yang baik. Ia merasa harus melakukan yang benar agar tercipta
keserasian dalam masyarakat. Masalahnya sejauh apa pemahaman masyarakat tentang
nilai dan moral sehingga kesadaran menaati aturan itu pun muncul dengan
sendirinya.
Ouska
dan Whellan (1997) mendefinisikan moral sebagai prinsip baik-buruk yang ada dan
melekat dalam diri individu/seseorang. Moral sangat berkaitan dengan hati nurani
seorang individu. Kesadaran moral ini dapat menjadi karakter yang
khas/kepribadian ketika dilakukan secara kontinyu.
Dalam
buku Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (Elly M. Setiadi, 2007), problematika moral
dibagi atas problematika dalam pembinaan dan perkembangan moral. Problematika
pembinaan moral dipengaruhi oleh keluarga dan teman sebaya. Keluarga menjadi
penyebab tidak tersampainya pendidikan moral ketika interaksi antara anak dan
orang tua terhambat. Hal ini bisa disebabkan oleh kesibukan orang tua dalam
bekerja sehingga perhatian terhadap anak terabaikan. Problematika pembinaan moral
juga dapat disebabkan oleh teman sebaya. Siapa yang menjadi teman bermain anak
dapat mempengaruhi perilakunya apakah sesuai moral atau tidak. Di sinilah peran
orang tua diperlukan untuk mengarahkan anak dalam bergaul.
Sedangkan
problematika perkembangan moral dipengaruhi oleh empat hal yaitu figur
otoritas, media komunikasi, otak/proses berpikir, dan informasi. Sebagaimana
diketahui, figur otoritas ialah siapa saja yang menjadi figur anak dalam
hidupnya. Figur yang ia lihat bisa menjadi tolok ukur perilaku. Kedua, otak/
proses berpikir. Daya kritis anak bisa menentukan perkembangan moral yang ia
pahami. Peran pendidik dan orang tua sangat menunjang dalam merangsang daya
pikir anak agar tidak langsung menerima apa yang ia lihat atau dengar.
Ketiga,
media komunikasi. Pengaruh media amat cepat dalam membentuk pemahaman anak
terhadap perilakunya. Apa yang ia lihat bisa menjadi pengetahuan apakah
perilakunya benar/tidak. Bahkan tanpa sadar, apa yang dilihat dapat ditiru
mentah-mentah karena telah mendapat persetujuan dari media. Pengaruh terakhir
yakni informasi. Hal ini berkaitan erat dengan media karena dari sanalah
informasi didapat. Informasi menjadi pengetahuan dasar bagi anak. Ketika
pengetahuan membentuk pola pikir, tak menutup kemungkinan akan menjadi standar
berperilaku.
Ke
semua problematika di atas memerlukan proses sosialisasi dalam memperbaiki
moral individu. Pengetahuan yang benar pun dibutuhkan untuk memberikan pemahaman
yang benar. Proses sosialisasi ini dilaksanakan oleh pihak-pihak yang dinamakan
agen-agen sosialisasi. Tokoh sosiologi Fuller dan Jacobs mengidentifikasi lima
agen sosialisasi utama, yaitu keluarga, kelompok bermain, media massa, dan
lembaga pendidikan[3]. Agen
sosialisasi ini mesti berupaya mengkontrol individu dalam tingkah laku
kesehariannya.
Akhlak Mahmudah: Pendidikan Agama Yang Utama
Masalahnya,
sering kali agen sosialisasi absen ketika anak butuh bimbingan dalam menjawab
segala rasa ingin tahunya. Bahkan mereka tidak dapat diandalkan karena
pengetahuan agen sosialisasi kurang memadai. Karena itu diperlukan solusi lain
untuk mendapatkan pengetahuan moral. Salah satunya adalah dengan pendidikan
agama. Dari sinilah sumber pengetahuan moral bisa diperoleh. Pembelajaran agama
sudah semestinya dapat menjawab problematika moral dan memberi pemahaman anak
tentang perilaku yang seharusnya agar keteraturan sosial dapat diwujudkan.
Keteraturan
sosial perlu tercipta karena kita hidup di dunia ini tidak sendiri, sebagaimana
konsep manusia sebagai makhluk sosial. Untuk itu, setiap diri mesti memiliki
rasa sosial agar tercipta kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat. Salah
satunya melalui pembelajaran agama yang berkaitan dengan akhlak. Dalam kitab Ihya’
Ulumudin, diungkapkan al-khulk (akhlak) ialah sifat yang tertanam dalam jiwa
yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan
pemikiran dan perimbangan (Al-Ghazali, Ihya’ Ulumudin, Vol, III:56)[4].
Dalam
islam, akhlak dibagi menjadi dua, akhlak mahmudah dan madzmumah. Menurut Prof.
K. H. Masdar Helmy yang termasuk akhlak mahmudah atau baik yakni ikhlas,
syukur, malu, qanaah, amanah, iffah, tawadhu, adil, keberanian, istiqamah, taubat, sabar, pemaaf,
mujahadah, tawakal, toleransi islam, ash-shidqu, dan muraqabah. Sedangkan
akhlak madzmumah atau tercela yaitu ujub dan takabur, riya’ dan sum’ah, dengki,
kikir, marah, dusta, zhalim,tamak, dan penakut.
Akhlak
terpuji tersebut bukanlah bersumber pada akal, hati nurani/ pandangan
masyarakat melainkan bersumber dari alquran dan al-hadist sebagai sumber hukum
islam yang dapat menjadi pedoman dalam menjalani hidup. Meskipun, sepanjang
pemilik hati nurani, akal, adat istiadat masyarakat, bisa mengikuti dan
berpedoman kepada ajaran Allah terutama yang bersumber dari alquran dan hadist,
tentu dapat dijadikan untuk menentukan baik atau buruknya sesuatu.[5]
Pendidikan
sebagai usaha transfer ilmu dari pendidik kepada peserta didik amat ditentukan
oleh lingkungan alamiah si peserta didik. Begitu pula saat proses mentransfer
ilmu agama kepada peserta didik. Pendidikan agama tidak hanya diajarkan ketika
di sekolah tapi juga dalam kesehariannya. Sebab akhlak bukan hanya sekadar
teori, tapi mesti diaplikasikan oleh peserta didik. Sebagai buah dari iman, akhlak
memberi tahu kita bagaimana pola pikir seseorang terhadap lingkungannya.
Melalui akhlak ini pula karakter seseorang tampak sebagai refleksi dari
keimanannya.
Pembentukan karakter dimulai sejak anak berusia dini. Karakter tersebut kemudian
mengalami perkembangan hingga ia menjadi dewasa. Proses panjang ini berlangsung
selama ia hidup karena itu dikenal proses belajar seumur hidup (madal hayah). Pendidikan agama sebagai
salah satu sumber pengetahuan moral dalam membentuk karakter seorang individu dituntut
dapat menjadi wadah pedoman agar akhlak mahmudah meresap dengan baik sebagai
nilai yang mendarah daging.
Tak
hanya itu, dalam membentuk karakter yang baik membutuhkan keteladanan dari
orang lain. Teladan menjadi lentera dan pembimbing dalam perjalanannya menuju
Tuhannya.[6]
Seperti sebelumnya dikatakan bahwa figur otoritas amat penting dalam
perkembangan moral individu. Dalam islam telah jelas siapa yang patut
diteladani akhlaknya. Beliaulah Rasulullah SAW. Allah Ta’ ala berfirman:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (Al-Ahzab [33] : 21)
Berdasarkan
pemaparan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal yakni untuk membentuk
karakter dan akhlak mahmudah memerlukan peran aktif dari semua pihak. Agen
sosialisasi seyogyanya memberi pengetahuan moral agar kesadaran moral dapat
terbentuk. Sebagai bentuk budaya keseharian, si individu aktif belajar dan
membiasakan diri dalam kehidupan sehari-hari untuk berperilaku yang baik.
Kemudian, proses
pendidikan agama memberi stimulus dalam perkembangan moral sehingga kontrol
diri dapat diwujudkan. Rasulullah dapat menjadi figur teladan yang bisa
dijelaskan melalui kisah menarik seperti dengan buku cerita. Begitu pula dalam
penggunaaan teknologi. Seorang individu berupaya memanfaatkan teknologi untuk
tujuan maslahat. Di sini manusia berperan sebagai pengendali teknologi bukan
dikendalikan teknologi. Semoga bermanfaat.
BIODATA
PENULIS
Nama : Hilda Nur Wulandari
Prodi : S1 Manajemen
Angkatan : 2009
Fakultas : Ekonomi
Email : ilda_zigzag@yahoo.com
[1]
http://ideguenews.blogspot.com/2012/02/62-persen-remaja-indonesia-pernah-seks.html
[2]
Al-Ahdal, Hasyim Ali, 2009, Tarbiyah Dzatiyah, Jakarta: Robbani
Press, hal. 200.
[3]
http://www.ut.ac.id/html/suplemen/isip4110/sosialisasi.htm
[4] http://kafeilmu.com/2012/05/moral-menurut-pandangan-islam.html
[5]
Helmy, Masdar, 2012, Keteladanan Akhlak Rasulullah Saw: Tuntunan
Moral Untuk Muslim, Bandung: Pustaka Hidayah, hal. 12.
[6] Op.cit, Al-Ahdal, Hasyim Ali, 2009,
Tarbiyah Dzatiyah, hal. 169.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar