Oleh : Delita Octaviany
Akhlak secara
terminologi berarti tingkah laku seseorang yang didorong oleh suatu keinginan
secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik.
Akhlak merupakan bentuk jamak dari kata khuluk, berasal dari bahasa Arab
yang berarti perangai, tingkah laku, atau tabiat.
Tingkah laku atau tabiat biasa
dikenal dengan sebutan karakter. Menurut
istilah Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan
dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan
kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan
perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat
istiadat. Definisi tersebut diperkuat dengan distilah dalam definisi dari “The
stamp of individually or group impressed by nature, education or habit.
Karakter dapat juga diartikan sama dengan akhlak dan budi pekerti, sehingga
karakter bangsa identik dengan akhlak bangsa atau budi pekerti bangsa.
Bagi bangsa Indonesia sendiri tak
aneh lagi mendengar kata karakter, ini diwujudkan dalam peristiwa sumpah
pemuda, namun sampai sekarang tak ada perubahan ataupun tindakan nyata yang ditunjukan, korupsi, kolusi dan nepotisme tetap saja
berlangsung di negeri tercinta ini. Lalu kalau sudah seperti ini siapa yang
akan disalahkan?
Perubahan yang dapat
dilakukan yaitu melalui dunia pendidikan, karena pendidikan merupakan cermin
suatu bangsa. oleh karena itu,
pendidikan tidak cukup hanya mengajarkan anak menjadi pandai, menguasai
ilmu dan teknologi, pandai bicara di forum, pandai mengelola organisasi, dan sejumlah indikator
kasat mata yang sering memukau tapi bagaimana melalui dunia pendidikan dapat
menciptakan generasi-generasi penerus bangsa yang berakhlakul karimah, sehingga
dapat membuat negeri ini menjadi lebih tentram,aman, dan bersih dari korupsi.
“sesungguhnya
di tangan pemudalah nasib suatu bangsa, dalam keberanian mereka ada kejayaan
bangsa.” (Musthafa al-Ghulayani)
Begitu banyak Indonesia melahirkan para
ahli, diploma, sarjana, magister, doktor bahkan bergelar professor. Namun,
negeri ini masih aja mengalami krisis akhlak, yang seharusnya ini menjadi
pondasi berdirinya suatu negara, karena apabila para pemimpin di muka bumi ini
memiliki akhlak yang baik, maka tidak
terjadi peperangan, panjajahan, korupsi, suatu ketidakadilan, bahkan
mungkin sampai tidak terjadi tindak kriminal.
Jika kita lihat kembali kondisi pendidikan di Indonesia, para
siswa kebanyakan terpaku nilai dan kata
‘LULUS’. Namun, tidak memahami bagaimana
proses yang harus ditempuh untuk mendapatkan nilai tersebut, sehingga banyak
siswa melakukan tindakan
contek-mencontek. Perilaku demikian sudah menjadi budaya bagi siswa /
mahasiswa. Jika dunia pendidikan saja sudah dikotori dengan hal-hal seperti
ini, lalu cara apalagi yang harus ditempuh untuk memperbaiki citra bangsa
sendiri?
Banyak faktor yang menjadi penyebab mengapa pendidikan kita belum
mampu mencerdaskan bangsa ini secara lebih komprehenshif. Di antara faktor
tersebut menurut Djohar (KR, 18 Juni 2001) adalah sistem pendidikan yang
digunakan selama ini telah membelenggu semua pihak. Hal ini karena sistem
pendidikan yang kita gunakan itu sangat sentralistik, kaku, dan diberlakukannya
keseragaman yang berlebih. Faktor lainnya menurut Rofiq Anwar (2000) karena
dunia saat ini dikuasai oleh peradaban materi sehingga desain pendidikan yang
dibangun lebih dominan pada kultur materialistik. Sementara pendidikan yang
berlangsung lebih banyak menghadirkan ilmu dengan sedikit nilai-nilai moralitas,
teori dengan sedikit praktik, sehingga proporsionalitasnya tidak berimbang.
Salah satu untuk memperbaikinya
yaitu dengan pendidikan karakter. Latar belakang munculnya pendidikan tersebut
dilatarbelakangi oleh semakin terkikisnya karakter sebagai bangsa Indonesia,
dan sekaligus sebagai upaya pembangunan manusia Indonesia yang berakhlak budi
pekerti yang mulia.
MENGINTIP SISTEM
PENDIDIKAN AGAMA KITA
Pengetahuan
dan pemahaman keagamaan di kalangan remaja masih rendah. Hal ini dibuktikan
dengan tingginya perilaku menyimpang pada remaja. pendidikan agama hanya
diberikan 2-3 jam seminggu. Berbeda sekali dengan pelajaran matematika, bahasa
dan pelajaran lain yang diberikan melebihi pelajaran agama.
Sungguh,
ini merupakan bukti seakan agama tak lagi menjadi kebutuhan dalam sistem
pendidikan di negeri ini. Kalau kita menengok ke Mesir, ternyata negeri Nabi
Musa itu sangat menekankan pada pendidikan agama sebagai basis pendidikan
secara global.
Prof.
DR. Muhammad Sayyed Thantawi, salah satu Syekh di Universitas Al-Azhar
mengatakan bahwa Al-Azhar sebagai pendidikan yang komprehensif mulai jenjang
Raudhatul Athfal (TK) hingga universitas sangat menekankan penguatan basis
dasar keislaman. Kurikulum hapalan Al-Qur’an sudah dibiasakan sejak TK dan
terus sampai perguruan tinggi. Pendidikan agama juga diberikan dalam porsi yang
lebih. Sangat jauh berbeda dengan kurikulum yang diterapkan dalam pendidikan di
Indonesia, hal ini jelas pengaruh yang
signifikan antara pengajaran agama, idealisme pengajar dan hasil yang diperoleh
anak didik. Sehingga, sebagaimana dalam paparan diatas bahwa pendidikan agama, mengubah
perilaku dan akhlak mereka.
DASAR PEMBENTUKAN KARAKTER AKHLAKUL
KARIMAH
Karakter
manusia merupakan hasil tarik-menarik antara nilai baik dalam bentuk energi
positif dan nilai buruk dalam bentuk energi negatif. Energi positif itu berupa
nilai-nilai etis religius yang bersumber dari keyakinan kepada Allah SWT,
sedangkan energi negatif itu berupa nilai-nilai moral yang bersumber dari
taghut (Setan).
Energi positif itu berupa: Pertama,
kekuatan spiritual. Kekuatan spiritrual itu berupa îmân, islâm,
ihsân, dan taqwa, yang berfungsi membimbing dan memberikan
kekuatan kepada manusia untuk menggapai keagungan dan kemuliaan (ahsani
taqwîm); Kedua, kekuatan potensi manusia positif, berupa âqlus
salîm (akal yang sehat), qalbun salîm (hati yang sehat), qalbun
munîb (hati yang kembali, bersih, suci dari dosa) dan nafsul
mutmainnah (jiwa yang tenang). semua itu merupakan modal insani atau
sumber daya manusia yang memiliki kekuatan luar biasa. Ketiga,
sikap dan perilaku etis. Sikap dan perilaku etis ini merupakan implementasi
dari kekuatan spiritual dan kekuatan kepribadian manusia yang kemudian
melahirkan konsep-konsep normatif tentang nilai-nilai budaya etis. Sikap dan
perilaku etis itu meliputi: istiqâmah (integritas), ihlâs, jihâd
dan amal saleh.Energi positif tersebut dalam perspektif individu akan
melahirkan orang yang berkarakter, yaitu orang yang bertaqwa, memiliki
integritas (nafs al-mutmainnah) dan beramal saleh. Aktualisasi orang
yang berkualitas ini dalam hidup dan bekerja akan melahirkan akhlak budi
pekerti yang luhur karena memiliki personality (integritas, komitmen
dan dedikasi), capacity (kecakapan) dan competency yang bagus
pula (professional).
Selanjutnya yaitu energi negatif itu
disimbolkan dengan kekuatan materialistik dan nilai-nilai thâghût
(nilai-nilai destruktif). Kalau nilai-nilai etis berfungsi sebagai sarana
pemurnian, pensucian dan pembangkitan nilai-nilai kemanusiaan yang sejati (hati
nurani), nilai-nilai material (thâghût ) justru berfungsi
sebaliknya yaitu pembusukan, dan penggelapan nilai-nilai kemanusiaan. Hampir
sama dengan energi positif, energi negatif terdiri dari: Pertama,
kekuatan thaghut. Kekuatan thâghût itu berupa
kufr (kekafiran), munafiq (kemunafikan), fasiq
(kefasikan) dan syirik (kesyirikan) yang kesemuanya itu merupakan
kekuatan yang menjauhkan manusia dari makhluk etis dan kemanusiaannya yang
hakiki (ahsani taqwîm) menjadi makhluk yang serba material (asfala
sâfilîn); Kedua, kekuatan kemanusiaan negatif, yaitu
pikiran jahiliyah (pikiran sesat), qalbun marîdl (hati
yang sakit, tidak merasa), qalbun mayyit (hati yang mati, tidak punya
nurani) dan nafsu ‘l-lawwamah (jiwa yang tercela) yang kesemuanya itu
akan menjadikan manusia menghamba pada ilah-ilah selain Allah
berupa harta, sex dan kekuasaan (thâghût). Ketiga,
sikap dan perilaku tidak etis. Sikap dan perilaku tidak etis ini merupakan
implementasi dari kekuatan thâghût dan kekuatan kemanusiaan negatif
yang kemudian melahirkan konsep-konsep normatif tentang nilai-nilai budaya
tidak etis (budaya busuk). Sikap dan perilaku tidak etis itu meliputi: takabur
(congkak), hubb al-dunyâ (materialistik), dlâlim (aniaya) dan
amal sayyiât (destruktif).
Energi negatif tersebut dalam
perspektif individu akan melahirkan orang yang berkarakter buruk, yaitu orang
yang puncak keburukannya meliputi syirk, nafs lawwamah dan ’amal
al sayyiât (destruktif). Aktualisasi orang yang bermental thâghût
ini dalam hidup dan bekerja akan melahirkan perilaku tercela, yaitu orang yang
memiliki personality tidak bagus (hipokrit, penghianat dan pengecut)
dan orang yang tidak mampu mendayagunakan kompetensi yang dimiliki.
Ketika kesadaran bahwa pendidikan
karakter menjadi jawaban atas problematika bangsa, maka yang perlu diperhatikan
adalah, pertama; pendidikan karakter tidak cukup hanya sekadar diwacanakan tapi
perlu praktik secara langsung. Kedua; perlu figur guru/dosen yang berperan
tidak saja sebagai mitra belajar, namun jauh lebih penting dari itu semua
adalah mampu menjadi uswah khasanah (teladan yang baik). Ketiga; perlu didukung
seluruh pelaksana pendidikan dan sarana peribadatan yang memadai sebagai media
efektif menanamkan nilai-nilai religius pada anak didik. Keempat; perlu
pembiasaan, kontinuitas, dan istiqamah. Jadikan kebaikan itu habit bagi kita
semua, terutama pemuda penerus bangsa.
Untuk menjadi bangsa yang makmur dan
maju sangat diperlukan penguasaan sains dan teknologi, dan untuk menjadi bangsa
yang bermartabat dan berkeadaban diperlukan karakter bangsa yang didasari iman,
taqwa dan akhlak budi pekerti yang mulia.
DAFTAR
PUSTAKA
http://wikipedia.com
Az-Zahida Wida,Mentoring Fun, Surakarta:
Afra Publishing, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar