Minggu, 27 Mei 2012

KEBANGKITAN AKHLAK GENERASI PENERUS BANGSA

Oleh : Delita Octaviany
            Akhlak secara terminologi berarti tingkah laku seseorang yang didorong oleh suatu keinginan secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik. Akhlak merupakan bentuk jamak dari kata khuluk, berasal dari bahasa Arab yang berarti perangai, tingkah laku, atau tabiat.
            Tingkah laku atau tabiat biasa dikenal dengan sebutan karakter. Menurut  istilah Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Definisi tersebut diperkuat dengan distilah dalam definisi dari “The stamp of individually or group impressed by nature, education or habit. Karakter dapat juga diartikan sama dengan akhlak dan budi pekerti, sehingga karakter bangsa identik dengan akhlak bangsa atau budi pekerti bangsa.
            Bagi bangsa Indonesia sendiri tak aneh lagi mendengar kata karakter, ini diwujudkan dalam peristiwa sumpah pemuda, namun sampai sekarang tak ada perubahan ataupun tindakan nyata yang ditunjukan,  korupsi, kolusi dan nepotisme tetap saja berlangsung di negeri tercinta ini. Lalu kalau sudah seperti ini siapa yang akan disalahkan?
            Perubahan yang dapat dilakukan yaitu melalui dunia pendidikan, karena pendidikan merupakan cermin suatu bangsa. oleh karena itu,  pendidikan tidak cukup hanya mengajarkan anak menjadi pandai, menguasai ilmu dan teknologi, pandai bicara di forum, pandai  mengelola organisasi, dan sejumlah indikator kasat mata yang sering memukau tapi bagaimana melalui dunia pendidikan dapat menciptakan generasi-generasi penerus bangsa yang berakhlakul karimah, sehingga dapat membuat negeri ini menjadi lebih tentram,aman, dan bersih dari korupsi.
            “sesungguhnya di tangan pemudalah nasib suatu bangsa, dalam keberanian mereka ada kejayaan bangsa.” (Musthafa al-Ghulayani)
            Begitu banyak Indonesia melahirkan para ahli, diploma, sarjana, magister, doktor bahkan bergelar professor. Namun, negeri ini masih aja mengalami krisis akhlak, yang seharusnya ini menjadi pondasi berdirinya suatu negara, karena apabila para pemimpin di muka bumi ini memiliki akhlak yang baik, maka tidak  terjadi peperangan, panjajahan, korupsi, suatu ketidakadilan, bahkan mungkin sampai tidak terjadi tindak kriminal.
   Jika kita lihat kembali kondisi pendidikan di Indonesia, para siswa kebanyakan terpaku  nilai dan kata ‘LULUS’.  Namun, tidak memahami bagaimana proses yang harus ditempuh untuk mendapatkan nilai tersebut, sehingga banyak siswa  melakukan tindakan contek-mencontek. Perilaku demikian sudah menjadi budaya bagi siswa / mahasiswa. Jika dunia pendidikan saja sudah dikotori dengan hal-hal seperti ini, lalu cara apalagi yang harus ditempuh untuk memperbaiki citra bangsa sendiri?
   Banyak faktor yang menjadi penyebab mengapa pendidikan kita belum mampu mencerdaskan bangsa ini secara lebih komprehenshif. Di antara faktor tersebut menurut Djohar (KR, 18 Juni 2001) adalah sistem pendidikan yang digunakan selama ini telah membelenggu semua pihak. Hal ini karena sistem pendidikan yang kita gunakan itu sangat sentralistik, kaku, dan diberlakukannya keseragaman yang berlebih. Faktor lainnya menurut Rofiq Anwar (2000) karena dunia saat ini dikuasai oleh peradaban materi sehingga desain pendidikan yang dibangun lebih dominan pada kultur materialistik. Sementara pendidikan yang berlangsung lebih banyak menghadirkan ilmu dengan sedikit nilai-nilai moralitas, teori dengan sedikit praktik, sehingga proporsionalitasnya tidak berimbang.
            Salah satu untuk memperbaikinya yaitu dengan pendidikan karakter. Latar belakang munculnya pendidikan tersebut dilatarbelakangi oleh semakin terkikisnya karakter sebagai bangsa Indonesia, dan sekaligus sebagai upaya pembangunan manusia Indonesia yang berakhlak budi pekerti yang mulia.
MENGINTIP SISTEM PENDIDIKAN AGAMA KITA
            Pengetahuan dan pemahaman keagamaan di kalangan remaja masih rendah. Hal ini dibuktikan dengan tingginya perilaku menyimpang pada remaja. pendidikan agama hanya diberikan 2-3 jam seminggu. Berbeda sekali dengan pelajaran matematika, bahasa dan pelajaran lain yang diberikan melebihi pelajaran agama.
            Sungguh, ini merupakan bukti seakan agama tak lagi menjadi kebutuhan dalam sistem pendidikan di negeri ini. Kalau kita menengok ke Mesir, ternyata negeri Nabi Musa itu sangat menekankan pada pendidikan agama sebagai basis pendidikan secara global.
            Prof. DR. Muhammad Sayyed Thantawi, salah satu Syekh di Universitas Al-Azhar mengatakan bahwa Al-Azhar sebagai pendidikan yang komprehensif mulai jenjang Raudhatul Athfal (TK) hingga universitas sangat menekankan penguatan basis dasar keislaman. Kurikulum hapalan Al-Qur’an sudah dibiasakan sejak TK dan terus sampai perguruan tinggi. Pendidikan agama juga diberikan dalam porsi yang lebih. Sangat jauh berbeda dengan kurikulum yang diterapkan dalam pendidikan di Indonesia, hal ini jelas  pengaruh yang signifikan antara pengajaran agama, idealisme pengajar dan hasil yang diperoleh anak didik. Sehingga, sebagaimana dalam paparan diatas bahwa pendidikan agama, mengubah perilaku dan akhlak mereka.
DASAR PEMBENTUKAN KARAKTER AKHLAKUL KARIMAH
            Karakter manusia  merupakan hasil tarik-menarik antara nilai baik dalam bentuk energi positif dan nilai buruk dalam bentuk energi negatif. Energi positif itu berupa nilai-nilai etis religius yang bersumber dari keyakinan kepada Allah SWT, sedangkan energi negatif itu berupa nilai-nilai moral yang bersumber dari taghut (Setan).
            Energi positif itu berupa: Pertama, kekuatan spiritual. Kekuatan spiritrual itu berupa îmân, islâm, ihsân, dan taqwa, yang berfungsi membimbing dan memberikan kekuatan kepada manusia untuk menggapai keagungan dan kemuliaan (ahsani taqwîm); Kedua, kekuatan potensi manusia positif, berupa âqlus salîm (akal yang sehat), qalbun salîm (hati yang sehat), qalbun munîb (hati yang kembali, bersih, suci dari dosa) dan nafsul mutmainnah (jiwa yang tenang). semua itu merupakan modal insani atau sumber daya manusia yang memiliki kekuatan luar biasa. Ketiga,  sikap dan perilaku etis. Sikap dan perilaku etis ini merupakan implementasi dari kekuatan spiritual dan kekuatan kepribadian manusia yang kemudian melahirkan konsep-konsep normatif tentang nilai-nilai budaya etis. Sikap dan perilaku etis itu meliputi: istiqâmah (integritas), ihlâs, jihâd dan amal saleh.Energi positif tersebut dalam perspektif individu akan melahirkan orang yang berkarakter, yaitu orang yang bertaqwa, memiliki integritas (nafs al-mutmainnah) dan beramal saleh. Aktualisasi orang yang berkualitas ini dalam hidup dan bekerja akan melahirkan akhlak budi pekerti yang luhur karena memiliki personality (integritas, komitmen dan dedikasi), capacity (kecakapan) dan competency yang bagus pula (professional).
            Selanjutnya yaitu energi negatif itu disimbolkan dengan kekuatan materialistik dan nilai-nilai thâghût (nilai-nilai destruktif). Kalau nilai-nilai etis berfungsi sebagai sarana pemurnian, pensucian dan pembangkitan nilai-nilai kemanusiaan yang sejati (hati nurani), nilai-nilai  material (thâghût ) justru berfungsi sebaliknya yaitu pembusukan, dan penggelapan nilai-nilai kemanusiaan. Hampir sama dengan energi positif, energi negatif terdiri dari: Pertama, kekuatan thaghut. Kekuatan thâghût itu  berupa  kufr (kekafiran), munafiq (kemunafikan), fasiq (kefasikan) dan syirik (kesyirikan) yang kesemuanya itu merupakan kekuatan yang menjauhkan manusia dari makhluk etis dan kemanusiaannya yang hakiki (ahsani taqwîm) menjadi makhluk yang serba material (asfala sâfilîn); Kedua, kekuatan kemanusiaan negatif, yaitu  pikiran jahiliyah (pikiran sesat),  qalbun marîdl (hati yang sakit, tidak merasa), qalbun mayyit (hati yang mati, tidak punya nurani) dan nafsu ‘l-lawwamah (jiwa yang tercela) yang kesemuanya itu akan menjadikan manusia menghamba pada ilah-ilah selain Allah berupa harta, sex dan kekuasaan (thâghût). Ketiga,  sikap dan perilaku tidak etis. Sikap dan perilaku tidak etis ini merupakan implementasi dari kekuatan thâghût dan kekuatan kemanusiaan negatif yang kemudian melahirkan konsep-konsep normatif tentang nilai-nilai budaya tidak etis (budaya busuk). Sikap dan perilaku tidak etis itu meliputi: takabur (congkak), hubb al-dunyâ (materialistik), dlâlim (aniaya) dan amal sayyiât (destruktif).
            Energi negatif tersebut dalam perspektif individu akan melahirkan orang yang berkarakter buruk, yaitu orang yang puncak keburukannya meliputi syirk, nafs lawwamah dan ’amal al sayyiât (destruktif). Aktualisasi orang yang bermental thâghût ini dalam hidup dan bekerja akan melahirkan perilaku tercela, yaitu orang yang memiliki personality tidak bagus (hipokrit, penghianat dan pengecut) dan orang yang tidak mampu mendayagunakan kompetensi yang dimiliki.
            Ketika kesadaran bahwa pendidikan karakter menjadi jawaban atas problematika bangsa, maka yang perlu diperhatikan adalah, pertama; pendidikan karakter tidak cukup hanya sekadar diwacanakan tapi perlu praktik secara langsung. Kedua; perlu figur guru/dosen yang berperan tidak saja sebagai mitra belajar, namun jauh lebih penting dari itu semua adalah mampu menjadi uswah khasanah (teladan yang baik). Ketiga; perlu didukung seluruh pelaksana pendidikan dan sarana peribadatan yang memadai sebagai media efektif menanamkan nilai-nilai religius pada anak didik. Keempat; perlu pembiasaan, kontinuitas, dan istiqamah. Jadikan kebaikan itu habit bagi kita semua, terutama pemuda penerus bangsa.
            Untuk menjadi bangsa yang makmur dan maju sangat diperlukan penguasaan sains dan teknologi, dan untuk menjadi bangsa yang bermartabat dan berkeadaban diperlukan karakter bangsa yang didasari iman, taqwa dan akhlak budi pekerti yang mulia.

  
DAFTAR PUSTAKA
http://wikipedia.com
Az-Zahida Wida,Mentoring Fun, Surakarta: Afra Publishing, 2011

Tidak ada komentar: