Minggu, 27 Mei 2012

PESONA PENDIDIKAN ISLAM DALAM KEPRIBADIAN MUSLIM


Oleh. Yosep Nur Hidayat

            Sejarah penciptaan manusia telah menggambarkan kepada kita tentang eksistensi akal. Alqur’an memberi informasi bahwa Adam as. telah Allah lebihkan atas malaikat, sehingga manusia layak menjadi Kholifatullah fil ardh. Kelebihan ini adalah sebab ilmu yang Allah ajarkan kepada Adam, dengan ilmu itu, Adam sebagai bapak manusia diberi kelebihan atas malaikat (dan makhluk yang lain) yang sempat penasaran, sehingga mempermasalahkan pemberian amanan ini. Dengan alasan bahwa mereka (para malaikat) lebih aktif beribadah kepada Allah daripada manusia yang suka membuat kerusakan di bumi dan menumpahkan darah. Allah swt.pun menjawab,
… sesungguhnya Aku mengetahui apa-apa yang kamu tidak mengetahui-(nya). Dan Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya … (Qs. Al Baqarah : 30-31)[1]
            Ilmu dan pendidikan menjadi indikator terdepan dalam menilai dan mewujudkan suatu peradaban suatu bangsa. Lewat ilmu terwujud peradaban manusia yang dikenal sampai saat ini, diantara peradaban-peradaban tersebut adalah Romawi, Persia, Cina, India, Mesir, dan sebagainya. Seiring dengan peradaban ini, Islam telah memberikan pemahaman dan metode berharga yang mengubah tatanan dunia secara sempurna dalam memantapkan kedudukan ilmu pengetahuan[2]. Bahkan dalam Al Qur’an kalimat yang mengandung kata ‘ilmu (ain, lam, mim) dengan turunannya mencapai 779 kali penyebutan, dalam kadar tujuh kali –kurang lebih- pada setiap surat[3]. Pentingnya ilmu ini bagi setiap muslim ditegaskan oleh Rasulullah dalam sabdanya : “menuntut ilmu itu kewajiban setiap muslim” (HR. Ibnu Majah, Abu Ya’la, Shahih).
            Dalam bahasa arab yang menjadi bahasa Al Qur’an kata pendidikan dikenal dengan kata tarbiyah. Kata tarbiyah memiliki setidaknya tiga makna. Tarbiyah berakar dari kata Rabaa, Yarbuu. Tumbuh. Tarbiyah menumbuhkan seseorang dari kekanakan ruh, kekanakan akal, dan kekanakan jasad menuju kematangan dan kedewasaan masing-masingnya. Ruh yang dewasa, akal yang dewasa, dan jasad yang dewasa untuk memetakan diri, menyikapi masalah-masalah, dan mengemban tugas-tugas. Tarbiyah adalah sebuah Improvement.
            Atau Rabiya, Yurbii. Berkembang. Tarbiyah mengembangkan manusia muslim dalam kemampuan-kemampuan yang dibutuhkannya menjalani kehidupan. Ia dalam tugasnya sebagai ‘abdullah yang beribadah kepada Allah, dan sebagai kholifah yang akan mengelola bumi seisinya di-train untuk memiliki kompetensi yang dikembangkan dari potensi-potensi yang telah dikaruniakan Allah kepadanya. Setelah mengajaknya mengenali potensinya, ia mengajaknya mengembangkannya. Tarbiyah adalah development.
            Atau Rabba, Yarubbu. Memberdayakan. Ia yang telah tumbuh dan berkembang, harus diarahkan untuk berdayaguna. Islam memanggil manusia-manusia muslim untuk menunjukkan keunggulannya. Islam menghendaki agar sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat, paling besar dayagunanya bagi dunia. Tarbiyah adalah empowerment[4].
            Dari makna-makna akar kata yang terkandung dalam kata tarbiyah terlihat bahwa pendidikan islam bukanlah sesuatu yang jumud sehingga membuat umat islam menjadi kaum yang terbelakang, eksklusif, dan tidak bisa menyesuaikan diri dengan tantangan zaman. Namun sebaliknya, pendidikan islam menghendaki agar seorang muslim menjadi pribadi yang menyadari kondisi dan peran dirinya dalam kehidupan, kemudian bermujahadah mengembangkan potensi dirinya untuk memenuhi tantangan zaman, dan akhirnya tidak canggung berbaur dalam kancah peradaban dunia dengan kebanggaan dan keyakinan yang kuat “saya adalah seorang muslim”.
Islam juga telah menetapkan batasan yang jelas tentang kafaah keilmuan yang harus digeluti seorang muslim. Hendaknya seorang muslim memahami dengan jelas dasar-dasar agama yang menjadi acuan sekaligus benteng dalam menjalani kehidupan sehingga tidak terjerumus kedalam golongan “orang bodoh”. Disaat yang sama islam juga memotivasi umatnya untuk terus memperluas cakrawala pengetahuannya, karena Allah sudah mengisyaratkan akan kebesaran-Nya di alam ini yang hanya mampu diungkap dengan ilmu[5], bahkan ada sebuah ungkapan “Pengetahuan adalah milik kaum muslimin yang hilang. Dimana saja didapatinya maka mereka lebih berhak mengambilnya daripada orang lain“[6]. Maka jelaslah bagaimana islam mengarahkan umatnya dalam wilayah ini (pendidikan) yaitu setiap pribadi muslim fardhu ‘ain memahami dasar-dasar agama dan fardhu kifayah mendalami suatu ilmu umum yang membawa maslahat banyak bagi umat[7].
Akhirnya islam juga telah menetapkan tujuan yang sangat jelas –sejelas sinar mentari- bahwa pendidikan islam menghendaki umat muslim menjadi pribadi yang bersyukur dengan semakin mendekatkan diri mereka kepada Allah[8] dan menjadi pribadi yang selalu konsisten dalam kesholihan pribadi dan kesholihan sosial[9]. Atau dalam pemaparan Hasan Al Banna hendaknya tarbiyah islamiyah menjadikan seorang muslim memiliki salimul aqidah ( aqidah yang lurus), shohihul ibadah (ibadah yang benar), matinul khuluq (akhlak yang kokoh), qowiyyul jismii (kekuatan jasmani), mutsaqqoful fikri (keluasan pengetahuan), mujahadatullinafsihi (bersungguh-sungguh), harishun ‘ala waqtiha (pandai menjaga waktu), munazhzhamun fi Syu’unihi (teratur dalam suatu urusan), qodirun ’alal kasbi ( memiliki kemampuan berusaha sendiri), nafi’un Lighoirihi ( bermanfaat bagi orang lain)[10].
Kenyataan inilah yang terlihat sangat jelas dari kehidupan Rasulullah dan Salafushsholih dalam sejarah panjang peradaban islam yang begitu harum merebak memenuhi seluruh pelosok bumi -kendati orang-orang kafir berusaha menutupinya. Rasulullah menguatkan pembinaan akidah umat di tiga belas tahun masa da’wahnya, agar mereka benar-benar memahami bagaimana islam mengarahkan jalan kehidupannya.  Rasulullah juga tidak melupakan khazanah keilmuan umum, maka Beliau meminta tawanan perang untuk mengajarkan kaum muslimin membaca dan menulis. Rasulullah juga tidak segan untuk mengikuti pendapat sahabatnya dalam menentukan suatu strategi perang, meskipun itu adalah strategi perang yang biasa dilakukan oleh orang Persia. Bahkan Rasulullah menjadi sosok yang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan agar da’wahnya mampu diterima dengan baik, seperti memilih utusan yang cocok dengan daerah yang akan di da’wahi atau penggunaan stempel dalam surat ajakannya kepada raja-raja disekitar jazirah arab[11]. Teladan ini yang diikuti oleh para sahabat dan salafushsholih radhiallahuanhum ‘ajmain, maka mereka adalah ‘ulama dan umara’ sekaligus, ustadz dan politikus, syeikh dan ilmuwan, murobbi dan entrepreneur, sebagaimana mereka juga seorang hamba yang tersedu dalam ibadahnya dan pejuang yang gagah dan penuh keyakinan dalam berjuang dijalan Allah. Dengan pemahaman ini Abu Bakar dan Umar ibn Khattab berkarya dalam peran kepemimpinan politiknya; ‘Utsman ibn ‘Affan dan ‘Abdurrahman Ibn ‘Auf dengan perniagaannya; Ali ibn Abi Thalib dan Ibnu Abbas dengan kefaqihannya, Kholid ibn Walid dan Sholahuddin Al Ayyubi dengan jihadnya; Jabir ibn Hayyan (pioner ilmu kimia), Ibnu Farras (pioner ilmu penerbangan), dan Ibnu Haytsam (pioner ilmu optik) dengan penemuan ilmiahnya. Dan masih banyak lagi tokoh muslim lain - dengan kepekaan ruhiyah, ketajaman akal, kekuatan fisik, dan kesatuan ukhuwahnya- yang telah memberikan karya-karya besar menuju peradaban manusia yang indah dan manusiawi dalam bimbingan syariat Allah yang sempurna.
            Begitulah pendidikan islam, pendidikan yang sangat berkarakter sehingga jelas dalam dasar, arahan, motivasi, dan tujuan yang bila diterapkan akan mampu membentuk pribadi-pribadi mempesona yang diabadikan dalam Al Qur’an sebagai umat terbaik yang dilahirkan bagi umat manusia[12] -seperti Rasulullah dan para sahabat- karena mampu mengemban amanahnya sebagai kholifah[13] untuk menyebarkan rahmat bagi semesta alam[14].

[1] Yusuf Qardhami, Masyarakat Berbasis Syariat Islam: Akidah, Ibadah, Akhlak, hlm. 175.
[2] Raghib As Sirjani, Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia, hlm. 175-176.
[3] Ibid.,(177).
[4] Salim A. Fillah, Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim, hlm. 137-138.
[5] Qs. Ali Imran: 190, dll.
[6] Said Muhammad Ramdhan Al Buthy, Fiqh Siroh.
[7] Sayyid Qutb, Ebook Petunjuk Sepanjang Jalan, hlm. 114.
[8] Qs. An Nahl: 78.
[9] Qs. Ali Imran : 79.
[10] Hasan Al Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin.
[11] Said Muhammad Ramadhan Al Buthy, Fiqh Siroh; Shafiyurrahman Al Mubarakfury, Sirah Nabawiyah.
[12] Qs. Ali Imran : 110
[13] Qs. Al Baqarah : 30
[14] Qs. Al Anbiya’ : 107

Tidak ada komentar: